Semalem, waktu gue melintasi jalanan ramai berlampu warna-warni itu, gue merasa begitu tergetar. Tempat itu nggak asing, kafe-kafe cozzy nan cantik itu juga bukan hal baru buat gue. Traffic ligt, billboard, angkutan umum, semuanya gue kenal dengan baik.
Gue pernah melalui jalan itu, ralat, gue sering melewati jalanan itu di dalam mobil bersama teman atau keluarga. Mengobrol santai dan ringan, biasanya sambil berdiskusi memilih tempat shopping berikutnya. Ya, sepanjang jalan itu hingga di ujung depannya, berjejeran kafe, resto dan tempat belanja yang ciamik. Kalau tittle nya belanja, pasti style gue dengan jeans, kaos oblong santai dan sandal teplek, menenteng beberapa plastik hasil hunting barang. Menyenangkan, ya jalanan itu meninggalkan kesan menyenangkan. Kalau boleh gue putar pita perekam kenangan gue disana dengan teman-teman, pasti isi rekamannya penuh tawa, ngakak, menggila. Ya begitu.
Gue juga pernah melalui jalanan itu sama si pacar gue. Cukup sering. Ya, gue dan dia meluncur santai diatas sepeda motor sembari ting tang tung memilih kafe mana yang akan kita singgahi. Ditemani angin malam, jalanan itu pernah jadi saksi rasa kangen gue sama dia yang lama ngga ketemu lalu janjian makan. Ada gelora disana kalo memang atmosfir bisa menyimpannya. Ada cerita cinta gue disana seandainya udara bisa mengamankannya. Akan ada gambaran gue dengan jeans, atasan casual dan sepatu widges, tertawa bersama dia, andai saja momen itu dipotret oleh alam.
Jalanan itu, pernah jadi saksi masa muda gue, kehidupan gue yang penuh ketawaan, gue dan usia gue yang masih beriringan dengan rapat menjalani hari-hari dengan jalan-jalan, makan, belanja, pacaran, karokea bareng temen-temen, hura-hura.
Tapi semalam, gue melewati jalan itu dalam kondisi yang lain. Gue memandangi lampu-lampu kafe yang begitu segar, pelataran resto yang ciamik, seperti de javu dalam situasi yang berbeda jauh. Gue berseragam putih, di dalam angkot carteran, berjuang membuat seorang ibu yang kehilangan banyak darah untuk tetap tersadar, untuk tetap hidup. Gue mungkin sesungguhnya bukan siapa-siapa dalam skenario semalam, tapi on cover gue adalah tumpuan disana. Seorang ibu yang melahirkan 5 jam lalu, mengalami ari-ari tertahan, kehilangan banyak darah, sedang berjuang melawan kematian di hadapan gue, dan seisi angkot itu menumpu harapannya pada gue. Iya, gue adalah 'ibu bidan' yang sebetulnya belum jadi, yang bertanggung jawab agar si ibu segera mendapat pertolongan di RS dengan fasilitas cukup baik. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain, yang gue dengar hanya penolakan. Keluarga tidak punya biaya, sementara diagnosa sementara memungkinkan ibu untuk operasi dengan DP tidak sedikit. Wajahnya yang semakin memutih pucat, tubuhnya gemetar dan teraba dingin, dan tatapan anggota keluarganya terhadap gue yang seolah-olah memohon pertolongan. Padahal, demi Tuhan, gue bukan siapa-siapa.
Gue sekilas memandangi jalanan itu sambil berlalu pergi. This is me now. Gue harus mulai terbiasa dengan peran ini. Mau nggak mau harus mulai belajar merasa comfort dengan tatapan penuh harapan dari pasien dan keluarga, dengan tanggung jawab besar yang bukan main-main, dengan pertaruhan nyawa. Iya, inilah tuntutan profesi, yang sudah harus mulai gue rajut dan gue padukan serapat mungkin dengan diri gue sehingga meningkat menjadi tuntutan nurani.
Siapkah gue? Pertanyaa ini sudah harus segera terjawab 'iya'. (Jan092011)