Friday, June 10, 2011

Monolog

Ini sudah lembaran to do list kesekian yang aku ingkari sendiri... Membacanya membuatku tiba-tiba saja ingin bicara dengan diri sendiri.. Biasanya, kita akan lebih pintar menasihati orang lain bukan? Maka kini aku ingin menganggapku orang lain, lalu berbicara padanya.

Ana, apa kamu tahu betapa banyak waktu yang kau buang percuma? Dari hari ke hari, jam demi jam, menit ke menit, detik demi detik... Rangkailah kembali ingatanmu lalu lihatlah apa yang sudah kau perbuat terhadap 2 hal besar dalam hidupmu: harapan orang tuamu dan mimpimu sendiri.

Aku tahu mungkin ini adalah salah satu waktu paling berat dalam hidupmu. Ketika kamu berada diujung masa kuliahmu, menghadapi begitu banyak tuntutan, deadline, apalagi dengan pilihan yang kamu pilih ini. Tapi apakah karena semua kesulitan itu lantas kamu berhak lari dan bersembunyi? apakah kemudian kamu boleh mengeluh kemudian merasa lelah dan bosan dengan rutinitas dan tuntutan itu? Apakah kamu bisa membiarkan penat di kepalamu itu membuat suasana menjadi begitu keruh? Tidak kan? Maka dari itu, mulailah bangkit dari jatuhmu. Mulai lah bergerak dari kemalasanmu.

Hey, putri kedua dari orang tua sempurna, kamu sebetulnya patut berbangga dengan harapan yang ditanam beliau-beliau itu sejak dulu terhadapmu. ketika mungkin ayah ibumu merencanakan hal yang besar akan hidupmu, maka sebetulnya mereka menganggapmu mampu memenuhi harapan itu. Sulit? betul sekali, sulit, tapi apakah dukungan, doa, dan prinsip yang mereka tanam selama ini tidak cukup membuatmu mengerti bahwa hari ini kamu adalah harapan mereka, apakah besok kamu ingin mematahkan harapan itu? tidak kan? maka dari itu, bukalah matamu, bayangkan wajah mereka, mulailah susun kembali mimpi-mimpi itu buat mereka.

Ana Wardatul Jannah, perempuan pemalas, pengulang-ulang kesalahan, wanita penuh teloransi terhadap diri sendiri, mau sampai kapan kamu begini? Bermimpi begitu tinggi sambil terus menunda kewajiban, berkhayal akan kebahagiaan sambil melupakan keharusan... Berkacalah, seandainya berkaca bisa menunjukkan rentetan dosamu sejak dulu, mungkin akan banyak orang memakimu karena kebodohanmu. Berkacalah dahulu, sebentar saja, lihat apa yang sudah kamu perbuat pada mimpimu. Sudah cukup? Sudah cukup menangisnya? Sudah habis airmata penyesalannya?

Sudah?
Kalau sudah, sekarang akan aku beritahu satu hal. Mungkin kamu tidak pernah tahu, bahwa didalam dirimu tertanam kemauan dan semangat yang besar, namun kamu tidak cukup sering menggunakannya dengan baik. Kamu sejak kecil begitu cerdas, namun begitu dewasa kamu tidak sadar akan hal itu, lalu lebih sering membiarkan dirimu tampak bodoh begitu saja. Aku tau kamu begitu mencintai orang tuamu lebih dari siapapun, bahkan  matamu tiba-tiba akan basah saat sedikit saja seseorang bicara tentang betapa mereka luar biasa. Kamu malu, kamu malu terhadap mereka, terhadap rasa bangga mereka yang tidak pernah berkurang terhadapmu. iya kan? aku tahu kamu bisa jadi luar biasa ketika kamu mau bergerak dan mengeluarkan semua apa yang kamu miliki. namun kini kamu tampak begitu terpuruk. Kembali berkacalah.

Apa yang kau lihat?
Aku melihat semangat.
Aku akan bangun, bangkit dan merajut 2 hal besar dalam hidupku: harapan orangtuaku dan tentunya, mimpiku sendiri.

Tuesday, May 31, 2011

My life crisis

Lama ngga ngisi blog... Tapi sebenernya belakangan ini berkali-kali buka blog, menatap layar kosong 'new entry', tapi nihil. Gue mulai kehilangan cara untuk menulis lagi. Siaaaal.

But ya I'm trying eniwey.

Actually, belakangan ini gue sedang merasa tidak terlalu baik. Gue mencoba mencari alasan mengapa demikian, tapi yang gue temukan hanyalah rentetan rutinitas yang tiada ujungnya. Gue pikir, mungkin ini dia penyebabnya. For God sake, rutinitas ini hampi membunuh gue. Oh tidak, rasanya seperti menyayat-nyayat punggung gue, lalu menghisap darah gue perlahan-lahan seperti yang dilakukan Wirth dalam film Creek, lalu membiarkan gue hampir mati kehabisan darah. Dengan perumpamaan sangat lebay itu, i can say that I'm dying now.

Gue enggak tau pasti ya, apakah ini wajar atau enggak untuk gue rasakan. Secara, ini memang kehidupan gue sekarang, kuliah dan praktek yang begitu menyiksa, dan mungkin sampai nanti, setelah gue lulus kuliah, karena ini memang pilihan hidup gue. Setidaknya gue baru akan mendapat jeda setelah 1-2 bulan kedepan. Iya, gue hanya mengharapkan jeda. Jeda yang tidak terlalu banyak, tapi berkualitas. Tapi apakah iya hidup harus selalu ada jeda? Seseorang pernah bilang sama gue, bahwa hidup harus terus berjalan tanpa jeda, karena break atau jeda dalam hidup adalah mati, nanti setelah mati ya lanjut lagi dengan kehidupan berikutnya. Benar, gue mengakui, that's why, all i have to do is ensure my self about this choice for my liife. This is what i call as 'quarter life crisis'.

Gue dalam hitungan bulan, akan segera menghadapi kehidupan keras diluar panci bertekanan yang gue huni hampir tiga tahun ini. Panci bertekanan ini akan segera terbuka dan membuang gue ke dunia luar yang sebenarnya. Yang mungkin saja, tekanannya akan lebih besar dan pastinya unpredictable. Tidak ada yang tahu gue akan jadi apa disana.

Hidup yang sesungguhnya tampaknya tidak mudah ya, dunia sekolah yang membuat gue seperti berada dalam balon udara menerbangkan gue ke awang-awang, dunia kuliah yang bagaikan menggodok gue dalam panci bertekanan terduga, rasanya bukan apa-apa bila dibandingkan dunia yang tidak ada batasnya itu. Menerbangkan gue tanpa balon, menjatuhkan aku tanpa alas, menggodok gue tanpa dinding, ya tanpa batas. Gue sih masih bergidik membayangkannya. Tapi in my deepest heart, in my point of my mind, gue yakin gue bisa hidup didalamnya. Semuanya sudah dipersiapkan sejak lama, saat ini adalah finishing touch. Anggaplah begitu. Gue hanya bisa berkata pada diri gue, bukan jeda yang gue butuhkan, tapi keyakinan yang lebih dan lebih lagi bahwa jalan gue itu cerah. Gue butuh kecerdasan lagi dan lagi, kejelian lebih banyak lagi untuk melihat siapa diri gue sebenarnya dan langkah mana yang akan gue ambil pertama kali setelah gue di launching ke dunia sesungguhnya itu.

Gue tidak pernah membayangkan, wisuda yang gue tunggu-tunggu, adalah bahagia yang menyertai awal yang tidak pernah gue tau bagaimana akhirnya. Tapi yakinlah, rencanakan yang terbaik, berusaha sekuatnya, bekerja sebaik-baiknya, dan berdoa setulus-tulusnya. DIA melihat usaha kita, DIA mendengar doa-doa dan mimpi kita. SEMANGAT MAHASISWA TINGKAT AKHIR!!

Thursday, January 13, 2011

09 Januari 2011

Semalem, waktu gue melintasi jalanan ramai berlampu warna-warni itu, gue merasa begitu tergetar. Tempat itu nggak asing, kafe-kafe cozzy nan cantik itu juga bukan hal baru buat gue. Traffic ligt, billboard, angkutan umum, semuanya gue kenal dengan baik.

Gue pernah melalui jalan itu, ralat, gue sering melewati jalanan itu di dalam mobil bersama teman atau keluarga. Mengobrol santai dan ringan, biasanya sambil berdiskusi memilih tempat shopping berikutnya. Ya, sepanjang jalan itu hingga di ujung depannya, berjejeran kafe, resto dan tempat belanja yang ciamik. Kalau tittle nya belanja, pasti style gue dengan jeans, kaos oblong santai dan sandal teplek, menenteng beberapa plastik hasil hunting barang. Menyenangkan, ya jalanan itu meninggalkan kesan menyenangkan. Kalau boleh gue putar pita perekam kenangan gue disana dengan teman-teman, pasti isi rekamannya penuh tawa, ngakak, menggila. Ya begitu.

Gue juga pernah melalui jalanan itu sama si pacar gue. Cukup sering. Ya, gue dan dia meluncur santai diatas sepeda motor sembari ting tang tung memilih kafe mana yang akan kita singgahi. Ditemani angin malam, jalanan itu pernah jadi saksi rasa kangen gue sama dia yang lama ngga ketemu lalu janjian makan. Ada gelora disana kalo memang atmosfir bisa menyimpannya. Ada cerita cinta gue disana seandainya udara bisa mengamankannya. Akan ada gambaran gue dengan jeans, atasan casual dan sepatu widges, tertawa bersama dia, andai saja momen itu dipotret oleh alam.

Jalanan itu, pernah jadi saksi masa muda gue, kehidupan gue yang penuh ketawaan, gue dan usia gue yang masih beriringan dengan rapat menjalani hari-hari dengan jalan-jalan, makan, belanja, pacaran, karokea bareng temen-temen, hura-hura.

Tapi semalam, gue melewati jalan itu dalam kondisi yang lain. Gue memandangi lampu-lampu kafe yang begitu segar, pelataran resto yang ciamik, seperti de javu dalam situasi yang berbeda jauh. Gue berseragam putih, di dalam angkot carteran, berjuang membuat seorang ibu yang kehilangan banyak darah untuk tetap tersadar, untuk tetap hidup. Gue mungkin sesungguhnya bukan siapa-siapa dalam skenario semalam, tapi on cover gue adalah tumpuan disana. Seorang ibu yang melahirkan 5 jam lalu, mengalami ari-ari tertahan, kehilangan banyak darah, sedang berjuang melawan kematian di hadapan gue, dan seisi angkot itu menumpu harapannya pada gue. Iya, gue adalah 'ibu bidan' yang sebetulnya belum jadi, yang bertanggung jawab agar si ibu segera mendapat pertolongan di RS dengan fasilitas cukup baik. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain, yang gue dengar hanya penolakan. Keluarga tidak punya biaya, sementara diagnosa sementara memungkinkan ibu untuk operasi dengan DP tidak sedikit. Wajahnya yang semakin memutih pucat, tubuhnya gemetar dan teraba dingin, dan tatapan anggota keluarganya terhadap gue yang seolah-olah memohon pertolongan. Padahal, demi Tuhan, gue bukan siapa-siapa.

Gue sekilas memandangi jalanan itu sambil berlalu pergi. This is me now. Gue harus mulai terbiasa dengan peran ini. Mau nggak mau harus mulai belajar merasa comfort dengan tatapan penuh harapan dari pasien dan keluarga, dengan tanggung jawab besar yang bukan main-main, dengan pertaruhan nyawa. Iya, inilah tuntutan profesi, yang sudah harus mulai gue rajut dan gue padukan serapat mungkin dengan diri gue sehingga meningkat menjadi tuntutan nurani. 

Siapkah gue? Pertanyaa ini sudah harus segera terjawab 'iya'. (Jan092011)

Monolog

Ini sudah lembaran to do list kesekian yang aku ingkari sendiri... Membacanya membuatku tiba-tiba saja ingin bicara dengan diri sendiri.. Biasanya, kita akan lebih pintar menasihati orang lain bukan? Maka kini aku ingin menganggapku orang lain, lalu berbicara padanya.

Ana, apa kamu tahu betapa banyak waktu yang kau buang percuma? Dari hari ke hari, jam demi jam, menit ke menit, detik demi detik... Rangkailah kembali ingatanmu lalu lihatlah apa yang sudah kau perbuat terhadap 2 hal besar dalam hidupmu: harapan orang tuamu dan mimpimu sendiri.

Aku tahu mungkin ini adalah salah satu waktu paling berat dalam hidupmu. Ketika kamu berada diujung masa kuliahmu, menghadapi begitu banyak tuntutan, deadline, apalagi dengan pilihan yang kamu pilih ini. Tapi apakah karena semua kesulitan itu lantas kamu berhak lari dan bersembunyi? apakah kemudian kamu boleh mengeluh kemudian merasa lelah dan bosan dengan rutinitas dan tuntutan itu? Apakah kamu bisa membiarkan penat di kepalamu itu membuat suasana menjadi begitu keruh? Tidak kan? Maka dari itu, mulailah bangkit dari jatuhmu. Mulai lah bergerak dari kemalasanmu.

Hey, putri kedua dari orang tua sempurna, kamu sebetulnya patut berbangga dengan harapan yang ditanam beliau-beliau itu sejak dulu terhadapmu. ketika mungkin ayah ibumu merencanakan hal yang besar akan hidupmu, maka sebetulnya mereka menganggapmu mampu memenuhi harapan itu. Sulit? betul sekali, sulit, tapi apakah dukungan, doa, dan prinsip yang mereka tanam selama ini tidak cukup membuatmu mengerti bahwa hari ini kamu adalah harapan mereka, apakah besok kamu ingin mematahkan harapan itu? tidak kan? maka dari itu, bukalah matamu, bayangkan wajah mereka, mulailah susun kembali mimpi-mimpi itu buat mereka.

Ana Wardatul Jannah, perempuan pemalas, pengulang-ulang kesalahan, wanita penuh teloransi terhadap diri sendiri, mau sampai kapan kamu begini? Bermimpi begitu tinggi sambil terus menunda kewajiban, berkhayal akan kebahagiaan sambil melupakan keharusan... Berkacalah, seandainya berkaca bisa menunjukkan rentetan dosamu sejak dulu, mungkin akan banyak orang memakimu karena kebodohanmu. Berkacalah dahulu, sebentar saja, lihat apa yang sudah kamu perbuat pada mimpimu. Sudah cukup? Sudah cukup menangisnya? Sudah habis airmata penyesalannya?

Sudah?
Kalau sudah, sekarang akan aku beritahu satu hal. Mungkin kamu tidak pernah tahu, bahwa didalam dirimu tertanam kemauan dan semangat yang besar, namun kamu tidak cukup sering menggunakannya dengan baik. Kamu sejak kecil begitu cerdas, namun begitu dewasa kamu tidak sadar akan hal itu, lalu lebih sering membiarkan dirimu tampak bodoh begitu saja. Aku tau kamu begitu mencintai orang tuamu lebih dari siapapun, bahkan  matamu tiba-tiba akan basah saat sedikit saja seseorang bicara tentang betapa mereka luar biasa. Kamu malu, kamu malu terhadap mereka, terhadap rasa bangga mereka yang tidak pernah berkurang terhadapmu. iya kan? aku tahu kamu bisa jadi luar biasa ketika kamu mau bergerak dan mengeluarkan semua apa yang kamu miliki. namun kini kamu tampak begitu terpuruk. Kembali berkacalah.

Apa yang kau lihat?
Aku melihat semangat.
Aku akan bangun, bangkit dan merajut 2 hal besar dalam hidupku: harapan orangtuaku dan tentunya, mimpiku sendiri.

My life crisis

Lama ngga ngisi blog... Tapi sebenernya belakangan ini berkali-kali buka blog, menatap layar kosong 'new entry', tapi nihil. Gue mulai kehilangan cara untuk menulis lagi. Siaaaal.

But ya I'm trying eniwey.

Actually, belakangan ini gue sedang merasa tidak terlalu baik. Gue mencoba mencari alasan mengapa demikian, tapi yang gue temukan hanyalah rentetan rutinitas yang tiada ujungnya. Gue pikir, mungkin ini dia penyebabnya. For God sake, rutinitas ini hampi membunuh gue. Oh tidak, rasanya seperti menyayat-nyayat punggung gue, lalu menghisap darah gue perlahan-lahan seperti yang dilakukan Wirth dalam film Creek, lalu membiarkan gue hampir mati kehabisan darah. Dengan perumpamaan sangat lebay itu, i can say that I'm dying now.

Gue enggak tau pasti ya, apakah ini wajar atau enggak untuk gue rasakan. Secara, ini memang kehidupan gue sekarang, kuliah dan praktek yang begitu menyiksa, dan mungkin sampai nanti, setelah gue lulus kuliah, karena ini memang pilihan hidup gue. Setidaknya gue baru akan mendapat jeda setelah 1-2 bulan kedepan. Iya, gue hanya mengharapkan jeda. Jeda yang tidak terlalu banyak, tapi berkualitas. Tapi apakah iya hidup harus selalu ada jeda? Seseorang pernah bilang sama gue, bahwa hidup harus terus berjalan tanpa jeda, karena break atau jeda dalam hidup adalah mati, nanti setelah mati ya lanjut lagi dengan kehidupan berikutnya. Benar, gue mengakui, that's why, all i have to do is ensure my self about this choice for my liife. This is what i call as 'quarter life crisis'.

Gue dalam hitungan bulan, akan segera menghadapi kehidupan keras diluar panci bertekanan yang gue huni hampir tiga tahun ini. Panci bertekanan ini akan segera terbuka dan membuang gue ke dunia luar yang sebenarnya. Yang mungkin saja, tekanannya akan lebih besar dan pastinya unpredictable. Tidak ada yang tahu gue akan jadi apa disana.

Hidup yang sesungguhnya tampaknya tidak mudah ya, dunia sekolah yang membuat gue seperti berada dalam balon udara menerbangkan gue ke awang-awang, dunia kuliah yang bagaikan menggodok gue dalam panci bertekanan terduga, rasanya bukan apa-apa bila dibandingkan dunia yang tidak ada batasnya itu. Menerbangkan gue tanpa balon, menjatuhkan aku tanpa alas, menggodok gue tanpa dinding, ya tanpa batas. Gue sih masih bergidik membayangkannya. Tapi in my deepest heart, in my point of my mind, gue yakin gue bisa hidup didalamnya. Semuanya sudah dipersiapkan sejak lama, saat ini adalah finishing touch. Anggaplah begitu. Gue hanya bisa berkata pada diri gue, bukan jeda yang gue butuhkan, tapi keyakinan yang lebih dan lebih lagi bahwa jalan gue itu cerah. Gue butuh kecerdasan lagi dan lagi, kejelian lebih banyak lagi untuk melihat siapa diri gue sebenarnya dan langkah mana yang akan gue ambil pertama kali setelah gue di launching ke dunia sesungguhnya itu.

Gue tidak pernah membayangkan, wisuda yang gue tunggu-tunggu, adalah bahagia yang menyertai awal yang tidak pernah gue tau bagaimana akhirnya. Tapi yakinlah, rencanakan yang terbaik, berusaha sekuatnya, bekerja sebaik-baiknya, dan berdoa setulus-tulusnya. DIA melihat usaha kita, DIA mendengar doa-doa dan mimpi kita. SEMANGAT MAHASISWA TINGKAT AKHIR!!

09 Januari 2011

Semalem, waktu gue melintasi jalanan ramai berlampu warna-warni itu, gue merasa begitu tergetar. Tempat itu nggak asing, kafe-kafe cozzy nan cantik itu juga bukan hal baru buat gue. Traffic ligt, billboard, angkutan umum, semuanya gue kenal dengan baik.

Gue pernah melalui jalan itu, ralat, gue sering melewati jalanan itu di dalam mobil bersama teman atau keluarga. Mengobrol santai dan ringan, biasanya sambil berdiskusi memilih tempat shopping berikutnya. Ya, sepanjang jalan itu hingga di ujung depannya, berjejeran kafe, resto dan tempat belanja yang ciamik. Kalau tittle nya belanja, pasti style gue dengan jeans, kaos oblong santai dan sandal teplek, menenteng beberapa plastik hasil hunting barang. Menyenangkan, ya jalanan itu meninggalkan kesan menyenangkan. Kalau boleh gue putar pita perekam kenangan gue disana dengan teman-teman, pasti isi rekamannya penuh tawa, ngakak, menggila. Ya begitu.

Gue juga pernah melalui jalanan itu sama si pacar gue. Cukup sering. Ya, gue dan dia meluncur santai diatas sepeda motor sembari ting tang tung memilih kafe mana yang akan kita singgahi. Ditemani angin malam, jalanan itu pernah jadi saksi rasa kangen gue sama dia yang lama ngga ketemu lalu janjian makan. Ada gelora disana kalo memang atmosfir bisa menyimpannya. Ada cerita cinta gue disana seandainya udara bisa mengamankannya. Akan ada gambaran gue dengan jeans, atasan casual dan sepatu widges, tertawa bersama dia, andai saja momen itu dipotret oleh alam.

Jalanan itu, pernah jadi saksi masa muda gue, kehidupan gue yang penuh ketawaan, gue dan usia gue yang masih beriringan dengan rapat menjalani hari-hari dengan jalan-jalan, makan, belanja, pacaran, karokea bareng temen-temen, hura-hura.

Tapi semalam, gue melewati jalan itu dalam kondisi yang lain. Gue memandangi lampu-lampu kafe yang begitu segar, pelataran resto yang ciamik, seperti de javu dalam situasi yang berbeda jauh. Gue berseragam putih, di dalam angkot carteran, berjuang membuat seorang ibu yang kehilangan banyak darah untuk tetap tersadar, untuk tetap hidup. Gue mungkin sesungguhnya bukan siapa-siapa dalam skenario semalam, tapi on cover gue adalah tumpuan disana. Seorang ibu yang melahirkan 5 jam lalu, mengalami ari-ari tertahan, kehilangan banyak darah, sedang berjuang melawan kematian di hadapan gue, dan seisi angkot itu menumpu harapannya pada gue. Iya, gue adalah 'ibu bidan' yang sebetulnya belum jadi, yang bertanggung jawab agar si ibu segera mendapat pertolongan di RS dengan fasilitas cukup baik. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain, yang gue dengar hanya penolakan. Keluarga tidak punya biaya, sementara diagnosa sementara memungkinkan ibu untuk operasi dengan DP tidak sedikit. Wajahnya yang semakin memutih pucat, tubuhnya gemetar dan teraba dingin, dan tatapan anggota keluarganya terhadap gue yang seolah-olah memohon pertolongan. Padahal, demi Tuhan, gue bukan siapa-siapa.

Gue sekilas memandangi jalanan itu sambil berlalu pergi. This is me now. Gue harus mulai terbiasa dengan peran ini. Mau nggak mau harus mulai belajar merasa comfort dengan tatapan penuh harapan dari pasien dan keluarga, dengan tanggung jawab besar yang bukan main-main, dengan pertaruhan nyawa. Iya, inilah tuntutan profesi, yang sudah harus mulai gue rajut dan gue padukan serapat mungkin dengan diri gue sehingga meningkat menjadi tuntutan nurani. 

Siapkah gue? Pertanyaa ini sudah harus segera terjawab 'iya'. (Jan092011)