Tiga orang perempuan lajang duduk di sofa marun-gold, terdiam setelah lelah terbahak-bahak, menghibur diri sendiri dan saling menghibur satu sama lain dengan cara saling mengejek. Kami bertiga saat itu mungkin dalam hatinya masing-masing sedang merasakan sesak yang amat sangat, menahan masalah yang tengah menguji logika dan akal sehat kami yang pada dasarnya, selalu saja kami singkirkan dikala ditempa masalah. Ya itulah mengapa perempuan –meskipun tidak semua, seringkali lebih melankolis daripada laki-laki.
Saat itu, saya, satu dari tiga perempuan itu tiba-tiba saja berpikir bahwa, saya tidak sendiri. Saya bukan satu-satunya perempuan yang saat ini sedang merasa dunia tidak berpihak pada saya. Saya mungkin memang hanya belum terbiasa dengan kehidupan saya saat ini, ditinggal oleh orang yang sangat saya sayangi untuk tugas researchnya, meskipun hanya beberapa bulan, ke negeri seberang samudera hindia. Tepat sekali jika dikatakan saat ini saya sedang merasa sangat kesulitan mengontrol diri saya, untuk berhenti menjadi perempuan yang melankolis. And that’s absolutely damned me. Saya terkadang ingin memarahi diri saya sendiri.
Kami lalu berpikir, kenapa kami mengalami saat-saat sulit ini secara bersamaan?
Sepupu saya, sebut saja dia S, haha, barusaja sukses mendapati bahwa laki-laki yang selama ini dekat dengannya, nyaris dianggapnya sebagai calon labuhan terakhir, ternyata menganut teori monyet: sebelum bergantung pada ranting pohon yang satu, jangan lepaskan ranting pohon yang lama. Hey, that’s so unbelievable that there’s so many shit man out there and damn, we are, girls, are always hoping that someday will come a white horsed men from one of them, bring sword and bla bla bla, and then live together happily ever after. Hard to believe.
Kakak saya, yang notabene tertua diantara kami, juga sedang merasa dalam situasi yang sulit. "Merasa digantung", ujarnya. Ajakan untuk menikah sudah berkumandang sekian lama, orang tua kami sudah mendengar langsung dari calonnya, tapi kok, nggak ada progress. Pihak keluarga seberang yang terus berkutat dengan permasalahan teknis, seperti kakak laki-lakinya yang masih melajang tidak etis untuk dilangkahi. Klise ya. Usia hampir 25, menikah tak jelas juntrungannya, berakhir pada stress dan kurus.
Ini mungkin yang disebut quarter life crisis, dimana seseorang yang sedang menuju seperempat usia dalam hitungan wajarnya seseorang hidup, mendapatkan bahwa dunia tiba-tiba saja seperti menyudutkan dirinya. Nasib baik kelamaan seperti menjauhi hidupnya. Padahal rasa-rasanya, semua daya upaya sudah dilakukan dengan maksimal.
Obrolan antara kita akhirnya berlanjut mengenai quarter life crisis yang kami sedang alami versinya masing-masing. Sepupu saya bilang, sebenernya yang bikin dia betul-betul merasa tidak baik, bukan semata-mata karena laki-laki separuh monyet itu, tapi juga karena "kenapa gue tidak juga menemukan the right men, padahal...." padahalnya menggantung, tapi saya tau banget, padahal sepupu saya itu, physycly menarik, cantik, cerdas, settle, dan seharusnya ngga sesulit itu menemukan laki-laki yang baik untuknya. Katanya, Usia sudah 23, ngga lengkap rasanya kalau lebaran nggak ngajak pasangan menemui keluarga besar. Sentimentil melihat yang lebih muda sudah membawa gandengan, mungkin yang dimaksudnya adalah saya. Saat itu sepertinya sepupu saya menganggap dengan sangat yakin, bahwa lebih baik menjadi saya, walaupun ditinggal jauh sama pacar, tapi at least sudah punya pacar.
Ironis bangeet, karena saya sendiri, merasa ditinggal ke Sydney itu sangat tidak enak. Menyesakkan. Saya memang bukan perempuan yang tegar. Maka dari itu, 6 bulan dia pergi untuk urusan research, dalam bayangan saya akan sangat menyesakkan. Kadang terpikir, lebih baik ngga punya pacar ajah. Kakak saya nimbrung, dalam versinya, lebih menyakitkan digantung untuk urusan menikah. Itu jauh lebih sentimentil untuk perempuan ketimbang apapun. " Umur gue udah mau 25, dari dulu gue mimpi kawin umur 21-22", katanya getir.
Kami bertiga lalu saling memandang satu sama lain, saling bicara dalam diam. Saya jadi berfikir, kenapa ketika kita bertemu orang yang bermasalah, sebesar apapun, kita selalu merasa masalah kita paling rumit, juara tersulit. Ini berarti ada sesuatu yang salah pada mesin pengatur rasa syukur manusia. Ada yang salah pada mesin reseptor masalah manusia, dalam hal ini ADA YANG SALAH PADA MESIN PENERIMA MASALAH DALAM DIRI KAMI, DALAM DIRI SAYA.
Seusai bengong berpandangan, lalu kakak saya tersenyum simpul. "Yang belum punya cowo, nyarinya pusing. Yang udah punya, ditinggal nyari modal pusing juga. Yang udah mau kawin, tinggal nentuin tanggalnya aja ribetnya setengah mati. hidup... hidup... ada belajar disetiap tahapannya...". Kontan kami tertawa.
Iya betul, inilah hidup. Disetiap tahapannya akan selalu ada masalah dan kesulitan, mungkin saja menepi dilemma dan keserba sulitan. Namun disitulah essensi-nya. Tuhan mendirikan Universitas kehidupan sejak lama, untuk mendidik seluruh mahasiswa didalamnya untuk bisa memahami hakikat hidup secara utuh. Utuh, beserta segala masalah dan tantangan yang ada. Mahasiswa yang lulus, adalah manusia yang sudah mengerti apa arti kebahagiaan dan bagaimana menyikapinya, memahami betul apa itu kegagalan dan bagaimana mentolerirnya. Betul-betul mafhum tentang kekecewaan, kesedihan, masalah dan dilemma serta bisa menanggapinya secara positif, bukan mengeluh, bukan merasa dizhalimi, melainkan mensyukurinya. Dan ketika ada yang salah dengan mesin reseptor masalah, ia tahu bagaimana mereparasinya. Karena hidupnya semata-mata dijalani untuk berjalan menuju tujuan yang hakiki, semua rintangan adalah gangguan sesaat saja.
Wah, jenius betul percakapan kami bertiga pagi itu. Saya yang baru pulang pagi, sehabis magang, tiba-tiba saja mendapat pencerahan. saat itu juga, kami rasanya harus malu kalau kami merasa kami sedang bermasalah. Kami salah besar. Diluar sana, banyak sekali manusia yang benar-benar punya masalah sungguhan, dan boleh jadi mereka masih bisa lebih bersyukur.
Jadi manusia itu harus kuat. Jadi perempuan itu harus tegar, begitu kesimpulannya. Bukannya haram untuk menangis, tapi jadikanlah menangis sebagai bahan bakar untuk mengaktifkan kekuatan dalam diri. Semua masalah ada untuk diselesaikan, ia datang pada saat yang selalu tepat, di tahapan pemahaman hidup yang sesuai. Kakak sepupu saya, diusianya mungkin memang sedang ideal untuk diuji seperti itu, kakak saya juga harus dilatih mentalnya sebelum benar-benar menikah dan menghadapi tantangan yang sebenarnya, dan saya, ternyata memang harus diberikan latihan kesabaran untuk tidak lagi terlalu melankolis dalam menghadapi setiap masalah.
Di sofa itu, kami lalu tertawa sungguhan.
So, mari jadi perempuan yang kuat!
hohoho,.. bagus blognya!! ^.^
ReplyDeleteterimakasih....
ReplyDeletetulisannya??
sumpah, speechless, berkaca-kaca, tapi jadi lebih kuat...
ReplyDeletegood job my lovly sist, mari belajar terus menjadi bagian dari perempuan2 hebatdan kuat dalam sejarah...
semangaaaat