Thursday, November 25, 2010

Minutes to mid night, a whispered lesson from God.

Pukul 11.44 pm.

Gue, beberapa menit yang lalu, terisak nggak bisa berhenti. Rasanya jengkel banget ketika bahkan gue ngga bisa berhentiin airmata yang keluar dari mata gue sendiri, mengaliri pipi gue sendiri, bahkan dampaknya menyumbat hidung gue sendiri. Gue malah dengan pasrah membiarkannya semakin tak terkendali, malah merasai ngilu yang menyesakkan entah di mana persisnya. Iya, beberapa menit yang lalu itu gue menangis.

Menangis kenapa? Gue merasa begitu kompleks, sedih, kesel, kangen, jengkel, gedek juga, tapi juga merasa bersalah... I was not sure enough, bagian mana yang mendominasi, yang gue tau, perpaduannya yang solid membuat gue merasa begitu, eeeerrrgggghhh, nggak kuat pingin nangis. Gue cuma bisa memandangi layar monitor laptop silver gue, sesekali melirik sinis pada lambang on line yang menempel mantap di sebelah nama cowok gue di page skype gue yang juga on line, dan berusaha menerima kenyataan bahwa dia, disana, mungkin juga dihadapan laptopnya, sedang tertidur. Tertidur, tepat 5 menit yang lalu, saat gue bahkan belum sempat say good night dan menatap wajahnya sekali lagi untuk meyakinkan bahwa rasa kangen gue sedikit terobati. Oh ya, tentu, gue juga menggerutu kenapa tadi skype gue sempet bermasalah, memberi jeda beberapa menit untuk gue mencoba memfix-kannya, kemudian mendapati telepon gue tidak lagi dijawab. Ya dia tidur, diagnosa pasti. I don't need any differensial diagnose.

Mulailah, secara natural, gue bermonolog dengan diri gue sendiri.
Good side    : Dia capek Na, disana udah jam 2
Bad side       : anything! Gue hanya butuh dia pamit, just say "i'm sorry i'm sleepy, may i goe bed fisrst?"
Good side    : It's okay. Just calm down...

Yayaya, lalu good side menang. Gue berusaha menerima, karena pada dasarnya gue memang mengerti keadaannya. Ini cuma tentang: gue kangen, belum sempet nutup pembicaraan dengan baik dan manis malam ini, malam yang gue tunggu-tunggu begitu lama, dan gue mendapati dia tidur dengan sangat mudah. Ya tentu saja, udah jam 2 pagi kan disana.

Gue ngerti, gue hanya butuh teman untuk bicara (baca: mencaci maki). Gue membuka friend list on chat di facebook, dan gue melihat sahabat gue disana. Hhhh, inilah bukti pertama bahwa gue harus banyak bersyukur, karena gue tidak pernah merasa benar-benar sendirian, sepanjang hidup gue. Gue lalu menceritakan apa yang lagi terjadi dengan gue. Dia dengan karakternya yang gue kenal dengan baik beberapa kali mencoba memasukkan pikiran-pikiran positif dan gue mengerti, dari awalpun gue mengerti, gue sekali lagi mengatakan ini hanya karena rasa kangen gue yang ngga tertahan, hampir tersampaikan tapi gagal karena cowok gue tertidur. Egh, bete. Setelah beberapa kalimat bijak yang juga agak menjengkelkan ia lontarkan, akhirnya dia menyerah.

Temen gue  : Sabar yaa
Gue            : Iya.. Hhhh, nanti kalo lu udah punya cewek, jangan biarin dia ngerasain apa yang gue rasain ya...
Temen gue  : Hahaha, gue masih belum bisa terbuka sama cewek...
Gue            : Iya, nanti juga ada saatnya...
Temen gue  : Iya, nanti aja, lagi stress ni gue...
Gue            : Stress kenapa? Wah tambah bikin stress dong gue..
Temen gue  : Ngga ko.. Bonyok gue...
Gue            : Kenapa...?
Temen gue  : Divorced...

Deg. Divorced....??? Lalu, sesaat dia bercerita tentang hal mengerikan tersebut.

Gue, sejujurnya, merasa ciut dan malu. Malu banget rasanya beberapa menit lalu dengan begitu emosional gue mengadu ini itu, mengatasnamakan rasa rindu sebagai masalah besar. Okey, sejujurnya itu memang masalah, tapi seharusnya tidak menjadi  besar ketika gue mampu meredamnya dengan baik. Gue terdiam sesaat, serasa melihat wajah sahabat gue itu di layar monitor, wajahnya yang tetap apa adanya dan ikhlas meski saat ini mungkin hidupnya tengah tidak baik-baik saja. Rasa miris semakin bertambah ketika ia masih bisa nge-jokes, as a trick to make me laugh. 

Inikah pelajaran hidup itu? Hal berharga yang tidak bisa di adaptasi melalui teori diatas kertas dan tidak bisa ditemukan dengan searching via internet. 

Bukti kedua, gue tidak pernah dibiarkan merasa begitu bersedih tanpa pelajaran yang kemudian menyusul. This's truely always happen to me all the time. Mungkin ini juga bukti bahwa tidak selalu hal yang menurut gue terlalu buruk adalah benar-benar hal yang begitu buruk. Ini berkaitan pula dengan copying mechanism gue yang gue akui dengan jujur, sejak dulu memang belum baik. Makanya, gue pernah terheran-heran saat ada seorang teman yang bilang bahwa mekanisme koping gue sangat baik, weww, sangat-sangat tidak. Gue berharap pendapatnya itu bukan bukti bahwa gue pandai berbohong (terutama dalam menyembunyikan apa yang sungguh-sungguh sedang gue rasa). 

Back to the point. Inilah pelajaran besar yang gue dapat seperti dengan tidak disengaja malam ini. Pelajaran hidup kesekian lewat cara yang misterius yang dapat gue simpulkan seperti ini: Manusia belajar dengan masalah. Masalah adalah seperti soal-soal ujian yang berbeda tingkat kesulitannya di tiap tingkatan. Bagi anak kelas 4 SD, soal matematika kelas 1 tentu seperti tebak-tebakan yang membosankan. Sebaliknya soal UMPTN mungkin tampak sebagai masalah yang amat rumit and couldn't be solved. Jadi, ketika gue tertegun mendengar masalah sahabat gue tadi dan melihat ketenangan yang ia tunjukkan sementara gue dengan emosional menangisi hal yang konyol, gue seperti menyadari bahwa bisa jadi kalau dipetakan saat ini gue masih duduk manis di bangku sekolah dasar dan sahabat gue itu sudah lulus jauh lebih dulu.

Ya, I have to learn more and more because I will never let these matter pass away without any wisdom. Ya karena hidup adalah belajar untuk menjadi lebih bijak dengan mengambil pelajaran di setiap masalah yang menghampiri kita, sekalipun dengan cara yang kadang menjengkelkan.


Tuesday, November 23, 2010

Hujan itu sedari dulu

Hujan, punya essensi yang kompleks di tiap tetesannya yang jatuh menumbuk bumi dengan begitu apa adanya. Hal itu selalu gue yakini sejak dulu, bahwa ketika ia jatuh, sesungguhnya ia baru saja menyelesaikan petualangannya berkelana dari gumpalan awan nimbostratus lalu dengan kecepatan tertentu terus meluncur mengikuti arah angin dengan ikhlas, menari-nari dengan ringan menuju takdirnya: apakah tersangkut di ranting pepohonan, atau hinggap di atap gedung bertingkat, bisa juga membasahi bulu-bulu burung yang berarak tak beratap, mungkin jatuh diatas aliran arus sekawannya di lautan, palung, sungai dan selokan atau mungkin dengan begitu mulus hanya meluncur hingga bertemu tanah. Akhir petualangan yang begitu apa adanya, yang sesungguhnya juga awal dari petualangannya yang baru: meresap ke dalam tanah, menembus pori-pori akar tanaman lalu melewati step demi step hingga ia kembali melayang di atas sana, menunggu takdirnya yang kedua kali, hingga berkali-kali.

how beautiful...

And here I am now, welcoming this lovely great rain drops. 

Gue selalu ingin menganggap misteri tentang betapa setiap kali gue melihat, mendengar apalagi menyentuh tetesan hujan, tiba-tiba ada rasa sejuk yang spontan menelusup batin. Ini mungkin semacam ikatan batin manusia dengan semesta, sebagai sama-sama makhluk ciptaan-Nya. Betapa indah menyadari mereka mampu menyemangati gue dalam diamnya, dalam bisunya, dalam ketidakmampuan nya berkata-kata layaknya manusia.

Selamat datang hujan. Gue sangat suka kehujanan, kebasahan, gue suka dinginnya, gue suka hujan, gue suka hujan, gue suka hujan dan tidak akan pernah surut.


Saturday, November 13, 2010

Wedding syndrome :D


Mengapa di usia yang baru saja mau menginjak 20 tahun, saya dan kebanyakan orang disekitar saya entah dalam diam atau dengan cara yang frontal mulai menunjukkan kecenderungan perhatian untuk urusan 'pernikahan'?




 taken from antonrahmat.wordpress.com




I can understand when it sounds weird for another, but this is the truth which is happenning inside my community: kampus kebidanan kemenkes Bogor tercinta. *mari kawan lekaslah mengakui kenyataan ini. Banyak kemudian yang menghubungkan ini dengan kondisi psikologis yang notabene seolah dikarbit untuk lebih cepat mature ketimbang perempuan lain yang seusia, yang berkuliah di lain konsentrasi di kampus yang pasti punya khas pembentukan karakter yang berlainan pula. Pernyataan ini mungkin bisa diterima, kerena personally, I need no lie to say 'ya' about this fact. 


Untuk kebutuhan profesi, saya mengakui bahwa pembentukan karekter memang perlu. Untuk menjadi seorang bidan,  dibutuhkan kematangan yang lebih untuk mengimbangi klien yang jelas di dominasi oleh ibu-ibu, and that's why we have to be fammilier when we called as 'ibu', padahal usia kami bisa jadi masih belasan. Seorang bidan, tidak peduli berapapun usianya, mau tidak mau, mengaku atau tidak, adalah harus bisa menjadi sahabat untuk setiap ibu dengan karakter yang tidak sama, menjadi problem solver atau setidaknya menjadi pendengar yang baik untuk setiap masalah yang berbeda-beda dari klien yang tidak cuma seorang. Dengan mayoritas masalah: kurang harmonis dengan pasangan, seksualitas, sampai nggak punya uang sekalipun. 


Diatas alasan-alasan tersebut, maka pembentukan karakter ini memang dianggap perlu, dan saya rasa ini diterapkan di hampir setiap institusi yang mencetak bidan atau profesi sejenis. Berpikir dan bersikap tidak kekanak-kanakan, tidak tertawa cengengesan, berpakaian selalu rapi dan sopan, hindari jeans, bermental dewasa, memberikan jawaban solutif untuk setiap permasalahan klien, menjadi pribadi yang berwibawa dan ramah, berjalan tidak menunduk apalagi membungkuk, dan sejembreng aturan lainnya. Perkuliahan dengan seragam, mata kuliah yang sangat related dengan being a mature woman, dan model pembentukan lainnya. Tapi yang jadi masalah dan seringkali mencuat ke permukaan adalah justru side effect-nya. Betapa sulitnya ternyata menjadi balance dengan sejuta tuntutan image di usia yang sepertinya kalau melihat keluar 'rumah' kami, mereka seusia kami masih tampak begitu ringan menghadapi keseharian dengan menjadi diri sendiri yang apa adanya, tidak usah menjadi begitu dewasa  dan tua. Betapa rumitnya ternyata menjadi lurus ketika dampak dari pematangan psikologis yang berjalan begitu ngebut, pendidikan mengenai sesuatu yang begitu dewasa: pernikahan, menjadi istri, menjadi ibu dan hal-hal angker lainnya, berkejaran dengan pematangan biologis yang juga sedang meletup-letup. It feels not good actually. Seperti menjadi tua sebelum waktunya, menjadi memikirkan yang terlalu jauh sebelum saatnya. 


Memikirkan sesuatu yang tidak lain adalah: pernikahan, sebuah gerbang yang terbuka menuju kehidupan yang setiap hari kami pelajari di kelas dengan sangat teliti dan persisi. Ah, shit, jangan kira ini mudah. Racun ingin menikah cepat ini saya rasa mulai menjalar dengan cepat.


Teman satu kost-an saya contohnya, kalau saya tidak salah dengar, hampir lebih dari separuh pembicaraan dengan cowoknya di telepon adalah tentang menikah: setelah wisuda atau mungkin bisa lebih cepat? Setelah menikah tinggal dimana? Bogor, Bandung, atau bahkan Papua, tempat dimana sang pacar berdinas sebagai prajurit berloreng. Ya seputar itu. Atau contoh lain, teman saya yang lain, yang bahkan, minggu-minggu ini sudah mulai merundingkan setelan kebaya dan seragam keluarga untuk wedding party-nya. OH GOD. Tidak, tidak,  itu mungkin yang kelas beratnya. Tapi sebetulnya selain dua orang itu, banyak sekali teman yang dalam diam memikirkan untuk segera menikah setelah lulus, hal ini terkorek dengan begitu mudah saat saya hanya iseng menanyakan kapan nikah (pertanyaan yang juga menunjukkan bahwa saya sudah jadi korban), atau dari rona wajah sebagian besar isi kelas yang tiba-tiba memerah saat dosen berintermezo membahas pernikahan, motherhood, being a good wife dan sekawannya ditengah perkuliahan yang tightly related dengan topik intermezzo tersebut, seperti teknik perawatan bayi baru lahir, atau perubahan psikologis ibu hami, ibu melahirkan, kebutuhan psikologis ibu baru melahirkan, atau bahkan kuliah mengenai nutrisi ibu hamil yang kemudian berlanjut begitu panjang mengenai betapa indahnya mempersiapkan sebuah pernikahan, mempersiapkan menjadi seorang istri, menjadi seorang ibu. Dan bukti lainnya adalah, topic pembicaraan favorit dikalangan teman-teman pasti adalah menikah, menjadi istri, menjadi ibu, kerjaan setelah nikah, tipe suami idaman, daaan sebagainya. Dan lagi kalau saya melihat kualitas hubungan dengan pacar-pacar mereka, ternyata jauh berbeda dengan cewek-cewek lain seusianya. Kebanyakan, hampir lebih dari sebagian rasanya sudah berorientasi untuk serius kearah menikah ketimbang hanya just for fun and just for jokes semata.

See? This is our true life day after day. Apakah lantas side effect itu jadi bad effect? Ngga juga, nggak selalu. Bahkan dunia medis sering memanfaatkan efek sedative sebagai side effect justru dari sebuah obat antialergi, dan ini tentu tidak buruk.

Menjadi matang lebih cepat, meski melalui proses karbitan, tentu bukan hal buruk. Tapi sayangnya kematangan ini seringkali hanya imitasi, kematangan kulit yang sebetulnya buahnya masih mentah. Hal ini dikhawatirkan meletupkan kebingungan, memunculkan keinginan yang tidak-tidak namun sebenarnya kedewasaan dan kesiapan belum mencapai maksimum.
Dikhawatirkan, khawatir, mengkhawatirkan, itu semua sebetulnya bukan tentang mereka, bukan teman-teman saya, tapi tentang SAYA. Inbalance dalam diri saya diperparah oleh ambisi saya sejak kecil untuk menikah muda –entah ambisi ini memperparah atau malah menolong. Ya saya harap hal tersebut membuat saya secara pribadi menjadi lebih matang, setidaknya karena ini memang ambisi saya sejak lama, bukan semata-mata produk dari pembentukan karakter.

Namun, keseimbangan itu secara natural ternyata membaik, ketika ternyata pacar saya pun begitu, tidak ingin terlalu lama membuang waktu dengan pacaran, dan hebatnya lagi, ibu saya tak hentinya akhir-akhir ini meminta secara langsung ataupun tersirat agar saya segera memikirkan ke arah sana, dan tidak berlama-lama pacaran. These things makes me feel like, for Godsake, I wanna shake this world’s hand if I could. Saya seperti berdamai dengan dunia. Ia memberikan kesempatan kepada saya, agar secara sadar mengejar ketimpangan antara letupan keinginan saya dengan kesiapan mental yang saya yakin belum baik. Agar saya segera berdamai dengan teknik pebentukan karakter dalam profesi saya yang kadang terasa begitu menghakimi.

Setiap perempuan, saya yakin dituntut menjadi dewasa lebih cepat untuk menghadapi hal-hal unpredictable dalam hidupnya. Mungkin untuk hal tersebut, saya, dan teman-teman lainnya, harus mulai berusaha menerima semua proses ini dengan juga ikut berusaha untuk menyeimbangkan inbalance tadi. Kita tidak pernah tahu, apakah menikah muda atau hal angker lainnya yang mungkin terjadi adalah karena kita yang memikirkan dan merencanakan hal tersebut terlalu cepat atau ini memang hal yang Tuhan takdirkan untuk kita. We never know, and never be allowed to know for sure. This will always be God’s bussines. :D

Thursday, November 11, 2010

Simplicity of future

I wanna know for sure about the sense of  FUTURE.

Future is mystery, at least half of me is still trying hard to find my best way in getting there. Let say, sejak kecil dulu, gue pergi ke sekolah untuk mengejar cita-cita. Kemudian melanjut ke SMP dan SMA juga dengan alasan yang belum berubah, yaitu untuk mengejar cita-cita, mendapatkan masa depan yang sesuai cita-cita. Dunia sekolah selama 12 tahun tentu mencetak dengan rapi di ruang-ruang kepala gue tentang arti cita-cita, tentang arti masa depan. 

Gue sempat berkali-kali berganti cita-cita sejak kecil. Okey, mungkin ini berkaitan sangat erat dengan kompleksitas pemikiran seseorang yang berkembang terus, berbanding lurus dengan berjalannya waktu. Saat kita kecil, semuanya tampak begitu simpel, namun naif bila kita lihat ketika kita sudah dewasa. Dengan tanpa beban, seorang anak kecil dapat dengan lantang berkata: AKU INGIN JADI ASTRONOT. Baginya astronot adalah cita-citanya, dia hanya berpikir ketika ia besar nanti ia akan pergi ke bulan. But when he get mature, he will ask him self : HOW TO BE AN ASTRONOT? Ya, sederhananya, kita akan lebih berpikir mengenai 'bagaimana' ketika kita semakin dewasa.

Kompleksitas berpikir akan berkembang seiring usia -seharusnya, dan seringkali ini merepotkan. Jujur gue katakan, ketika merasa lelah dengan hari ini, gue hanya ingin  menjadi little ana berusia 4 tahun yang setiap hari merasa cukup bahagia hanya dengan bermain ayunan di teras rumah, atau cukup merasa bangga dengan berhasil menggambar seorang putri di kertas kusam. Namun, kalaupun bisa, pertanyaannya adalah :haruskah gue yang sudah hampir 20 tahun ini mengalami proses pendewasaan dalam hidup gue sebanyak dua kali? Tentu saja, dengan tegas gue katakan tidak. Ketika hari ini gue merasa diri gue terlalu kurang disana-sini, merasa gue masih sangat jauh dari keberhasilan yang bahkan sederhana, ketika gue menemukan ceceran kesalahan yang gue lakukan dibelakang langkah gue, dan gue menyesali semuanya, ini adalah konsekuensi dari komitmen diri gue sendiri ketika kecil dulu bahwa gue ingin berhasil. Keberhasilan yang ketika kecil dulu tampak sangat simpel dan sederhana. Dan setelah gue dewasa, setidaknya setelah usia gue almost twenty, dengan kempleksitas pemikiran yang berkembang kemudian menemukan ketidaksempurnaan ada dimana-mana, tentu gue akan berontak, dan mempertanyakan: akan jadi apa gue? Gimana dengan masa depan gue?

Gue sempat berkali-kali ganti cita-cita sewaktu kecil. Cita-cita pertama gue adalah jadi sarjana hukum, gaya banget ya? Ini hanya influence dari bokap. Agak besar sedikit, ketika idola berubah, jadilah gue ingin menjadi guru, sepeti ibunda guru yang sangat baik hati. Cita-cita ini bertahan agak cukup lama, mungkin sampai gue SMP. Ketika itu, gue mulai memahami kaitan antara cita-cita, profesi, dengan materi. Empatbelas atau limabelas tahun, waktu dimana gue mulai memahami tentang materi, uang, tentang ketika kita menjadi apa maka darisana kita akan mendapatkan apa. Secara wajar itu berkembang begitu saja, hingga gue SMA. Mungkin 3 tahun SMA adalah masa pendewasaan terkebut yang gue alami sepanjang hidup gue. Dibungkus pakaian putih-abu gue mulai mengerti bahwa bukan uang yang berada dibalik cita-cita, tapi keinginan yang kuat dalam diri kita yang akan direfleksikan kedalam masa depan kita itulah cita-cita, idealisme yang realistis, itu saja. Sederhananya, menjadi tidak masalah ketika hari itu gue bermimpi  hanya menjadi  seorang ibu rumah tangga yang berhasil mendidik anak-anaknya dan sukses mendampingi suaminya. 

Sejak saat itu, gue merasa bahwa kesederhanaan arti cita-cita ketika kita kecil dulu sebenarnya tidak terlalu naif. Ini justru menunjukkan sebuah kejujuran yang mendasar, bahwa secara alamiah seseorang hanya ingin bahagia dalam kehidupannya. Bahagianya itu, mungkin dengan menjadi astronot, menjadi dokter, menjadi presiden, atau hanya menjadi ibu rumah tangga (semoga semua orang setuju untuk menghapuskan kata hanya). Dan ya memang betul, melalui jalan yang kini tengah gue tempuh, let say, hari ini gue tengah menjalani hari-hari gue sebagai mahasiswa di jurusan kebidanan, ya melalui jalan inilah gue ingin mencapai kebahagiaan itu. Bukan, cita-cita gue bukan menjadi bidan. Tapi gue ingin bahagia, dan biarlah gue meyakini bahwa jalan ini adalah rute menuju kesana. 

Melalui ketidaksempurnaan yang hari ini gue temui disana-sini, menyadari berbagai kesalahan yang sudah gue bikin dengan sempurna selama 20 tahun ini, akhirnya gue menyadari bahwa menggapai cita-cita tidak semudah mencetuskannya ketika kita kecil dahulu. Pemikiran akan 'bagaimana' yang kadang agak merepotkan, sebenarnya memang di desain untuk dibangun di kepala manusia dewasa agar mereka terus berpikir dan berusaha dengan keras. Untuk gue, meskipun gue nggak pernah bercita-cita terlalu tinggi, hari ini adalah saatnya untuk do hardest untuk masa depan gue. Twenty untill twenty something, adalah usia dimana kematangan seseorang diuji, salah satunya melalui keteguhan dalam mengejar mimpi dan cita-cita untuk masa depan, dan bagaimana ia bertahan memisahkan cita-cita dengan ambisi yang kadang samar.

Jadi sebenernya apa itu masa depan? Mengapa semua orang, termasuk gue begitu sibuk mempersiapkannya  dengan sesempurna mungkin? Everyone has authority to make the sense of that by their own words, tapi dimata gue, masa depan adalah saatnya gue bersyukur atas rangkaian kehidupan yang telah gue lalui, dan saat itu seharusnya cita-cita gue sudah dalam genggaman. Tapi yang terpenting adalah, future is the moment when we realize that everything's happenned in our life is our true life, and it has to be. Kejujuran kita memandang cita-cita ketika kita kecil akan membekas pada saatnya, dan setiap keringat kita yang menetes untuk langkah demi langkah dalam mengartikan kata 'bagaimana' juga akan terkenang begitu indah nanti. Percayalah, we'll get what we really deserve. 

Mungkin keyakinan inilah yang harus dimiliki setiap orang yang tengah menggapai cita-citanya. Kembalilah seperti anak-anak yang begitu jujur dan sederhana dalam memandang cita-cita, masa depan dan kebahagiaan, namun dewasalah untuk mengejar itu  semua yang notabene tidak mudah, dengan bijaksana, maka nanti, di masa depan yang kita kejar itu, kita akan bersyukur dan ikhlas. 



Tuesday, November 9, 2010

Chef Abdan Syakuura, ST... :)

Saya menemukan bakat baru dari pacar saya, yaitu memasak.

Hal ini mulai terkuak sejak dia berdomisili di Sydney, Australia. Disana karena harga masakan siap saji yang terhitung mahal dan rawan akan pork, akhirnya dia terpaksa memasak untuk memenuhi kebutuhan perutnya, mengingat dirinya harus irit dalam mengalokasikan uang sakunya. Awalnya saya sanksi setengah mati bahwa kebiasaan memasaknya itu akan bertahan lama. Saya pikir, palingan satu dua minggu dia ngga tahan dan beralih dengan beli masakan jadi yang semurah mungkin.

Seminggu berlalu, dia bercerita dengan sangat heboh tentang masakan-masakannya yang dia bilang sih rasanya enak. Walaupun masih berkisar antara olahan telur dan tumisan sederhana saja, tapi saya salut karena dia masih tetap memasak. Dia sempat mengganti status di facebooknya, isinya kurang lebih dia bercerita tentang tangannya yang bau bawang sehabis masak, dan ia menulisnya dengan bangga. Hati saya tergerak, hahaha, akhirnya saya mengirimkan beberapa resep masakan simpel yang mungkin bisa diaplikasikan disana. Ya nggak jauh dari olahan  tumisan, telur, dan daging, yang penting kebutuhan karbo, protein, mineral dan seratnya terpenuhi dengan paduan olahan yang simpel dan mudah. Sejujurnya, saya menunggu minggu depan dia menyerah dan bilang: " Sayang, aku capek masak."

Tapi lagi-lagi saya salah. Hari-hari berikutnya di minggu kedua, ketiga, keempat, bukan cuma sekali dua kali saya mendengar dia bilang : " Sayang, aku masak dulu ya, nanti aku telepon lagi", atau, " Sayang, aku kangen kamu nih..., aku baru selesai masak lho..." Hellooo, kok rajin amat pacar saya masak? Menurut dia, roommate nya memang nggak bisa masak, makanya salah satu hasil pembagian tugas di rent house nya adalah dia memasak. Tapi yang saya heran, kok dia kayak menikmati amat job barunya itu? Bahkan dia lebih sering cerita tentang masakaannya dibanding perkembangan proyek penelitiannya. Noh, saya kan jadi curiga.

Yang paling mencengangkan adalah, kemarin sore saat saya sedang tidur tiba-tiba handphone saya berbunyi, ada sms dari dia, isinya kurang lebih begini: "Yank, kalo bikin perkedel itu kentangnya direbus ya? sampe seberapa mateng?" Dalam nyawa yang masih setengah saya jadi bertanya-tanya, saya pacaran sama chef ya? Tapi sejak kapan saya putus saya pacar saya yang calon engineer itu? Saya jadi tertawa sendiri. Akhirnya saya balas agak panjang agar usahanya membuat perkedel malam itu berhasil.

Malamnya, saat lagi chat, lagi-lagi yang dia bahas adalah masakannya. Katanya, perkedelnya enak, tapi sayang bikinnya ribet. Dia juga sempet cerita bahwa tetangganya seorang French, suka banget sama perkedel bikinannya. Wew, saya mulai merasa tercengang, dan ehm, tersaingi. Secara, saya yang perempuan saja masih belum mahir-mahir amat masak. Ngejokes lah dia, nawarin saya perkedelnya itu, saya bilang saya nggak mau, karena jujur sih saya masih meragukan keenakan perkedelnya. Ah, apapun masakannya pokoknya!

Dulu sebelum dia berangkat, kesamaan keahlian kita yang selalu kita kompetisikan adalah menghabiskan makanan, berebut nasi tambahan di rumah makan padang, dan berebut sop buah Pak Ewok, tapi prediksi saya setelah dia pulang, akan ada kompetisi baru diantara kita: KOMPETISI MEMASAK! Dan sepertinya kemenangan saya terancam, mengingat keahliannya masih akan sangat terasah dalam 4 bulan kedepan. Hmm, ya sudahlah, bukan hal memalukan juga sih kalo nanti saat dia lulus sebagai engineer dia dapet ijazah tambahan sebagai chef.

Chef Abdan Syakuura, ST. Sounds good, right?

Sunday, November 7, 2010

malam dan dia.

aku suka malam dengan segala keindahannya
hening yang mencekam erat
dingin yang memeluk rapat
kantuk yang menggoda tak bisa didebat
dan lelah raga yang disangkalpun tak sempat

aku suka malam dengan segala kesunyiannya
sepi dunia tak ada nada
terbungkam mulut tak ada suara
bunyi terbekap diam tak kuasa
dan udara hanya bergesek ragu menyapa

aku suka malam, malam ini tepatnya
kukenang wajahnya 6 jam lalu
kuingat senyumnya sedikit sayu
namun mengingatnya membuatku tak sedikitpun layu
dan cintaku kepadanya penuh tanpa ragu

aku suka malam, terlebih ketika bersama dia
dia dan malam yang menyatu ditengah siluet cahaya lampu jalanan
dia dan malam yang berpadu menjadi angin yang menggebu tak tertahan
aku suka malam, dan sungguh aku cinta dia
Ditulis: Juli 2009, mengenang satu momen bersamamu dulu

Minutes to mid night, a whispered lesson from God.

Pukul 11.44 pm.

Gue, beberapa menit yang lalu, terisak nggak bisa berhenti. Rasanya jengkel banget ketika bahkan gue ngga bisa berhentiin airmata yang keluar dari mata gue sendiri, mengaliri pipi gue sendiri, bahkan dampaknya menyumbat hidung gue sendiri. Gue malah dengan pasrah membiarkannya semakin tak terkendali, malah merasai ngilu yang menyesakkan entah di mana persisnya. Iya, beberapa menit yang lalu itu gue menangis.

Menangis kenapa? Gue merasa begitu kompleks, sedih, kesel, kangen, jengkel, gedek juga, tapi juga merasa bersalah... I was not sure enough, bagian mana yang mendominasi, yang gue tau, perpaduannya yang solid membuat gue merasa begitu, eeeerrrgggghhh, nggak kuat pingin nangis. Gue cuma bisa memandangi layar monitor laptop silver gue, sesekali melirik sinis pada lambang on line yang menempel mantap di sebelah nama cowok gue di page skype gue yang juga on line, dan berusaha menerima kenyataan bahwa dia, disana, mungkin juga dihadapan laptopnya, sedang tertidur. Tertidur, tepat 5 menit yang lalu, saat gue bahkan belum sempat say good night dan menatap wajahnya sekali lagi untuk meyakinkan bahwa rasa kangen gue sedikit terobati. Oh ya, tentu, gue juga menggerutu kenapa tadi skype gue sempet bermasalah, memberi jeda beberapa menit untuk gue mencoba memfix-kannya, kemudian mendapati telepon gue tidak lagi dijawab. Ya dia tidur, diagnosa pasti. I don't need any differensial diagnose.

Mulailah, secara natural, gue bermonolog dengan diri gue sendiri.
Good side    : Dia capek Na, disana udah jam 2
Bad side       : anything! Gue hanya butuh dia pamit, just say "i'm sorry i'm sleepy, may i goe bed fisrst?"
Good side    : It's okay. Just calm down...

Yayaya, lalu good side menang. Gue berusaha menerima, karena pada dasarnya gue memang mengerti keadaannya. Ini cuma tentang: gue kangen, belum sempet nutup pembicaraan dengan baik dan manis malam ini, malam yang gue tunggu-tunggu begitu lama, dan gue mendapati dia tidur dengan sangat mudah. Ya tentu saja, udah jam 2 pagi kan disana.

Gue ngerti, gue hanya butuh teman untuk bicara (baca: mencaci maki). Gue membuka friend list on chat di facebook, dan gue melihat sahabat gue disana. Hhhh, inilah bukti pertama bahwa gue harus banyak bersyukur, karena gue tidak pernah merasa benar-benar sendirian, sepanjang hidup gue. Gue lalu menceritakan apa yang lagi terjadi dengan gue. Dia dengan karakternya yang gue kenal dengan baik beberapa kali mencoba memasukkan pikiran-pikiran positif dan gue mengerti, dari awalpun gue mengerti, gue sekali lagi mengatakan ini hanya karena rasa kangen gue yang ngga tertahan, hampir tersampaikan tapi gagal karena cowok gue tertidur. Egh, bete. Setelah beberapa kalimat bijak yang juga agak menjengkelkan ia lontarkan, akhirnya dia menyerah.

Temen gue  : Sabar yaa
Gue            : Iya.. Hhhh, nanti kalo lu udah punya cewek, jangan biarin dia ngerasain apa yang gue rasain ya...
Temen gue  : Hahaha, gue masih belum bisa terbuka sama cewek...
Gue            : Iya, nanti juga ada saatnya...
Temen gue  : Iya, nanti aja, lagi stress ni gue...
Gue            : Stress kenapa? Wah tambah bikin stress dong gue..
Temen gue  : Ngga ko.. Bonyok gue...
Gue            : Kenapa...?
Temen gue  : Divorced...

Deg. Divorced....??? Lalu, sesaat dia bercerita tentang hal mengerikan tersebut.

Gue, sejujurnya, merasa ciut dan malu. Malu banget rasanya beberapa menit lalu dengan begitu emosional gue mengadu ini itu, mengatasnamakan rasa rindu sebagai masalah besar. Okey, sejujurnya itu memang masalah, tapi seharusnya tidak menjadi  besar ketika gue mampu meredamnya dengan baik. Gue terdiam sesaat, serasa melihat wajah sahabat gue itu di layar monitor, wajahnya yang tetap apa adanya dan ikhlas meski saat ini mungkin hidupnya tengah tidak baik-baik saja. Rasa miris semakin bertambah ketika ia masih bisa nge-jokes, as a trick to make me laugh. 

Inikah pelajaran hidup itu? Hal berharga yang tidak bisa di adaptasi melalui teori diatas kertas dan tidak bisa ditemukan dengan searching via internet. 

Bukti kedua, gue tidak pernah dibiarkan merasa begitu bersedih tanpa pelajaran yang kemudian menyusul. This's truely always happen to me all the time. Mungkin ini juga bukti bahwa tidak selalu hal yang menurut gue terlalu buruk adalah benar-benar hal yang begitu buruk. Ini berkaitan pula dengan copying mechanism gue yang gue akui dengan jujur, sejak dulu memang belum baik. Makanya, gue pernah terheran-heran saat ada seorang teman yang bilang bahwa mekanisme koping gue sangat baik, weww, sangat-sangat tidak. Gue berharap pendapatnya itu bukan bukti bahwa gue pandai berbohong (terutama dalam menyembunyikan apa yang sungguh-sungguh sedang gue rasa). 

Back to the point. Inilah pelajaran besar yang gue dapat seperti dengan tidak disengaja malam ini. Pelajaran hidup kesekian lewat cara yang misterius yang dapat gue simpulkan seperti ini: Manusia belajar dengan masalah. Masalah adalah seperti soal-soal ujian yang berbeda tingkat kesulitannya di tiap tingkatan. Bagi anak kelas 4 SD, soal matematika kelas 1 tentu seperti tebak-tebakan yang membosankan. Sebaliknya soal UMPTN mungkin tampak sebagai masalah yang amat rumit and couldn't be solved. Jadi, ketika gue tertegun mendengar masalah sahabat gue tadi dan melihat ketenangan yang ia tunjukkan sementara gue dengan emosional menangisi hal yang konyol, gue seperti menyadari bahwa bisa jadi kalau dipetakan saat ini gue masih duduk manis di bangku sekolah dasar dan sahabat gue itu sudah lulus jauh lebih dulu.

Ya, I have to learn more and more because I will never let these matter pass away without any wisdom. Ya karena hidup adalah belajar untuk menjadi lebih bijak dengan mengambil pelajaran di setiap masalah yang menghampiri kita, sekalipun dengan cara yang kadang menjengkelkan.


Hujan itu sedari dulu

Hujan, punya essensi yang kompleks di tiap tetesannya yang jatuh menumbuk bumi dengan begitu apa adanya. Hal itu selalu gue yakini sejak dulu, bahwa ketika ia jatuh, sesungguhnya ia baru saja menyelesaikan petualangannya berkelana dari gumpalan awan nimbostratus lalu dengan kecepatan tertentu terus meluncur mengikuti arah angin dengan ikhlas, menari-nari dengan ringan menuju takdirnya: apakah tersangkut di ranting pepohonan, atau hinggap di atap gedung bertingkat, bisa juga membasahi bulu-bulu burung yang berarak tak beratap, mungkin jatuh diatas aliran arus sekawannya di lautan, palung, sungai dan selokan atau mungkin dengan begitu mulus hanya meluncur hingga bertemu tanah. Akhir petualangan yang begitu apa adanya, yang sesungguhnya juga awal dari petualangannya yang baru: meresap ke dalam tanah, menembus pori-pori akar tanaman lalu melewati step demi step hingga ia kembali melayang di atas sana, menunggu takdirnya yang kedua kali, hingga berkali-kali.

how beautiful...

And here I am now, welcoming this lovely great rain drops. 

Gue selalu ingin menganggap misteri tentang betapa setiap kali gue melihat, mendengar apalagi menyentuh tetesan hujan, tiba-tiba ada rasa sejuk yang spontan menelusup batin. Ini mungkin semacam ikatan batin manusia dengan semesta, sebagai sama-sama makhluk ciptaan-Nya. Betapa indah menyadari mereka mampu menyemangati gue dalam diamnya, dalam bisunya, dalam ketidakmampuan nya berkata-kata layaknya manusia.

Selamat datang hujan. Gue sangat suka kehujanan, kebasahan, gue suka dinginnya, gue suka hujan, gue suka hujan, gue suka hujan dan tidak akan pernah surut.


Wedding syndrome :D


Mengapa di usia yang baru saja mau menginjak 20 tahun, saya dan kebanyakan orang disekitar saya entah dalam diam atau dengan cara yang frontal mulai menunjukkan kecenderungan perhatian untuk urusan 'pernikahan'?




 taken from antonrahmat.wordpress.com




I can understand when it sounds weird for another, but this is the truth which is happenning inside my community: kampus kebidanan kemenkes Bogor tercinta. *mari kawan lekaslah mengakui kenyataan ini. Banyak kemudian yang menghubungkan ini dengan kondisi psikologis yang notabene seolah dikarbit untuk lebih cepat mature ketimbang perempuan lain yang seusia, yang berkuliah di lain konsentrasi di kampus yang pasti punya khas pembentukan karakter yang berlainan pula. Pernyataan ini mungkin bisa diterima, kerena personally, I need no lie to say 'ya' about this fact. 


Untuk kebutuhan profesi, saya mengakui bahwa pembentukan karekter memang perlu. Untuk menjadi seorang bidan,  dibutuhkan kematangan yang lebih untuk mengimbangi klien yang jelas di dominasi oleh ibu-ibu, and that's why we have to be fammilier when we called as 'ibu', padahal usia kami bisa jadi masih belasan. Seorang bidan, tidak peduli berapapun usianya, mau tidak mau, mengaku atau tidak, adalah harus bisa menjadi sahabat untuk setiap ibu dengan karakter yang tidak sama, menjadi problem solver atau setidaknya menjadi pendengar yang baik untuk setiap masalah yang berbeda-beda dari klien yang tidak cuma seorang. Dengan mayoritas masalah: kurang harmonis dengan pasangan, seksualitas, sampai nggak punya uang sekalipun. 


Diatas alasan-alasan tersebut, maka pembentukan karakter ini memang dianggap perlu, dan saya rasa ini diterapkan di hampir setiap institusi yang mencetak bidan atau profesi sejenis. Berpikir dan bersikap tidak kekanak-kanakan, tidak tertawa cengengesan, berpakaian selalu rapi dan sopan, hindari jeans, bermental dewasa, memberikan jawaban solutif untuk setiap permasalahan klien, menjadi pribadi yang berwibawa dan ramah, berjalan tidak menunduk apalagi membungkuk, dan sejembreng aturan lainnya. Perkuliahan dengan seragam, mata kuliah yang sangat related dengan being a mature woman, dan model pembentukan lainnya. Tapi yang jadi masalah dan seringkali mencuat ke permukaan adalah justru side effect-nya. Betapa sulitnya ternyata menjadi balance dengan sejuta tuntutan image di usia yang sepertinya kalau melihat keluar 'rumah' kami, mereka seusia kami masih tampak begitu ringan menghadapi keseharian dengan menjadi diri sendiri yang apa adanya, tidak usah menjadi begitu dewasa  dan tua. Betapa rumitnya ternyata menjadi lurus ketika dampak dari pematangan psikologis yang berjalan begitu ngebut, pendidikan mengenai sesuatu yang begitu dewasa: pernikahan, menjadi istri, menjadi ibu dan hal-hal angker lainnya, berkejaran dengan pematangan biologis yang juga sedang meletup-letup. It feels not good actually. Seperti menjadi tua sebelum waktunya, menjadi memikirkan yang terlalu jauh sebelum saatnya. 


Memikirkan sesuatu yang tidak lain adalah: pernikahan, sebuah gerbang yang terbuka menuju kehidupan yang setiap hari kami pelajari di kelas dengan sangat teliti dan persisi. Ah, shit, jangan kira ini mudah. Racun ingin menikah cepat ini saya rasa mulai menjalar dengan cepat.


Teman satu kost-an saya contohnya, kalau saya tidak salah dengar, hampir lebih dari separuh pembicaraan dengan cowoknya di telepon adalah tentang menikah: setelah wisuda atau mungkin bisa lebih cepat? Setelah menikah tinggal dimana? Bogor, Bandung, atau bahkan Papua, tempat dimana sang pacar berdinas sebagai prajurit berloreng. Ya seputar itu. Atau contoh lain, teman saya yang lain, yang bahkan, minggu-minggu ini sudah mulai merundingkan setelan kebaya dan seragam keluarga untuk wedding party-nya. OH GOD. Tidak, tidak,  itu mungkin yang kelas beratnya. Tapi sebetulnya selain dua orang itu, banyak sekali teman yang dalam diam memikirkan untuk segera menikah setelah lulus, hal ini terkorek dengan begitu mudah saat saya hanya iseng menanyakan kapan nikah (pertanyaan yang juga menunjukkan bahwa saya sudah jadi korban), atau dari rona wajah sebagian besar isi kelas yang tiba-tiba memerah saat dosen berintermezo membahas pernikahan, motherhood, being a good wife dan sekawannya ditengah perkuliahan yang tightly related dengan topik intermezzo tersebut, seperti teknik perawatan bayi baru lahir, atau perubahan psikologis ibu hami, ibu melahirkan, kebutuhan psikologis ibu baru melahirkan, atau bahkan kuliah mengenai nutrisi ibu hamil yang kemudian berlanjut begitu panjang mengenai betapa indahnya mempersiapkan sebuah pernikahan, mempersiapkan menjadi seorang istri, menjadi seorang ibu. Dan bukti lainnya adalah, topic pembicaraan favorit dikalangan teman-teman pasti adalah menikah, menjadi istri, menjadi ibu, kerjaan setelah nikah, tipe suami idaman, daaan sebagainya. Dan lagi kalau saya melihat kualitas hubungan dengan pacar-pacar mereka, ternyata jauh berbeda dengan cewek-cewek lain seusianya. Kebanyakan, hampir lebih dari sebagian rasanya sudah berorientasi untuk serius kearah menikah ketimbang hanya just for fun and just for jokes semata.

See? This is our true life day after day. Apakah lantas side effect itu jadi bad effect? Ngga juga, nggak selalu. Bahkan dunia medis sering memanfaatkan efek sedative sebagai side effect justru dari sebuah obat antialergi, dan ini tentu tidak buruk.

Menjadi matang lebih cepat, meski melalui proses karbitan, tentu bukan hal buruk. Tapi sayangnya kematangan ini seringkali hanya imitasi, kematangan kulit yang sebetulnya buahnya masih mentah. Hal ini dikhawatirkan meletupkan kebingungan, memunculkan keinginan yang tidak-tidak namun sebenarnya kedewasaan dan kesiapan belum mencapai maksimum.
Dikhawatirkan, khawatir, mengkhawatirkan, itu semua sebetulnya bukan tentang mereka, bukan teman-teman saya, tapi tentang SAYA. Inbalance dalam diri saya diperparah oleh ambisi saya sejak kecil untuk menikah muda –entah ambisi ini memperparah atau malah menolong. Ya saya harap hal tersebut membuat saya secara pribadi menjadi lebih matang, setidaknya karena ini memang ambisi saya sejak lama, bukan semata-mata produk dari pembentukan karakter.

Namun, keseimbangan itu secara natural ternyata membaik, ketika ternyata pacar saya pun begitu, tidak ingin terlalu lama membuang waktu dengan pacaran, dan hebatnya lagi, ibu saya tak hentinya akhir-akhir ini meminta secara langsung ataupun tersirat agar saya segera memikirkan ke arah sana, dan tidak berlama-lama pacaran. These things makes me feel like, for Godsake, I wanna shake this world’s hand if I could. Saya seperti berdamai dengan dunia. Ia memberikan kesempatan kepada saya, agar secara sadar mengejar ketimpangan antara letupan keinginan saya dengan kesiapan mental yang saya yakin belum baik. Agar saya segera berdamai dengan teknik pebentukan karakter dalam profesi saya yang kadang terasa begitu menghakimi.

Setiap perempuan, saya yakin dituntut menjadi dewasa lebih cepat untuk menghadapi hal-hal unpredictable dalam hidupnya. Mungkin untuk hal tersebut, saya, dan teman-teman lainnya, harus mulai berusaha menerima semua proses ini dengan juga ikut berusaha untuk menyeimbangkan inbalance tadi. Kita tidak pernah tahu, apakah menikah muda atau hal angker lainnya yang mungkin terjadi adalah karena kita yang memikirkan dan merencanakan hal tersebut terlalu cepat atau ini memang hal yang Tuhan takdirkan untuk kita. We never know, and never be allowed to know for sure. This will always be God’s bussines. :D

Simplicity of future

I wanna know for sure about the sense of  FUTURE.

Future is mystery, at least half of me is still trying hard to find my best way in getting there. Let say, sejak kecil dulu, gue pergi ke sekolah untuk mengejar cita-cita. Kemudian melanjut ke SMP dan SMA juga dengan alasan yang belum berubah, yaitu untuk mengejar cita-cita, mendapatkan masa depan yang sesuai cita-cita. Dunia sekolah selama 12 tahun tentu mencetak dengan rapi di ruang-ruang kepala gue tentang arti cita-cita, tentang arti masa depan. 

Gue sempat berkali-kali berganti cita-cita sejak kecil. Okey, mungkin ini berkaitan sangat erat dengan kompleksitas pemikiran seseorang yang berkembang terus, berbanding lurus dengan berjalannya waktu. Saat kita kecil, semuanya tampak begitu simpel, namun naif bila kita lihat ketika kita sudah dewasa. Dengan tanpa beban, seorang anak kecil dapat dengan lantang berkata: AKU INGIN JADI ASTRONOT. Baginya astronot adalah cita-citanya, dia hanya berpikir ketika ia besar nanti ia akan pergi ke bulan. But when he get mature, he will ask him self : HOW TO BE AN ASTRONOT? Ya, sederhananya, kita akan lebih berpikir mengenai 'bagaimana' ketika kita semakin dewasa.

Kompleksitas berpikir akan berkembang seiring usia -seharusnya, dan seringkali ini merepotkan. Jujur gue katakan, ketika merasa lelah dengan hari ini, gue hanya ingin  menjadi little ana berusia 4 tahun yang setiap hari merasa cukup bahagia hanya dengan bermain ayunan di teras rumah, atau cukup merasa bangga dengan berhasil menggambar seorang putri di kertas kusam. Namun, kalaupun bisa, pertanyaannya adalah :haruskah gue yang sudah hampir 20 tahun ini mengalami proses pendewasaan dalam hidup gue sebanyak dua kali? Tentu saja, dengan tegas gue katakan tidak. Ketika hari ini gue merasa diri gue terlalu kurang disana-sini, merasa gue masih sangat jauh dari keberhasilan yang bahkan sederhana, ketika gue menemukan ceceran kesalahan yang gue lakukan dibelakang langkah gue, dan gue menyesali semuanya, ini adalah konsekuensi dari komitmen diri gue sendiri ketika kecil dulu bahwa gue ingin berhasil. Keberhasilan yang ketika kecil dulu tampak sangat simpel dan sederhana. Dan setelah gue dewasa, setidaknya setelah usia gue almost twenty, dengan kempleksitas pemikiran yang berkembang kemudian menemukan ketidaksempurnaan ada dimana-mana, tentu gue akan berontak, dan mempertanyakan: akan jadi apa gue? Gimana dengan masa depan gue?

Gue sempat berkali-kali ganti cita-cita sewaktu kecil. Cita-cita pertama gue adalah jadi sarjana hukum, gaya banget ya? Ini hanya influence dari bokap. Agak besar sedikit, ketika idola berubah, jadilah gue ingin menjadi guru, sepeti ibunda guru yang sangat baik hati. Cita-cita ini bertahan agak cukup lama, mungkin sampai gue SMP. Ketika itu, gue mulai memahami kaitan antara cita-cita, profesi, dengan materi. Empatbelas atau limabelas tahun, waktu dimana gue mulai memahami tentang materi, uang, tentang ketika kita menjadi apa maka darisana kita akan mendapatkan apa. Secara wajar itu berkembang begitu saja, hingga gue SMA. Mungkin 3 tahun SMA adalah masa pendewasaan terkebut yang gue alami sepanjang hidup gue. Dibungkus pakaian putih-abu gue mulai mengerti bahwa bukan uang yang berada dibalik cita-cita, tapi keinginan yang kuat dalam diri kita yang akan direfleksikan kedalam masa depan kita itulah cita-cita, idealisme yang realistis, itu saja. Sederhananya, menjadi tidak masalah ketika hari itu gue bermimpi  hanya menjadi  seorang ibu rumah tangga yang berhasil mendidik anak-anaknya dan sukses mendampingi suaminya. 

Sejak saat itu, gue merasa bahwa kesederhanaan arti cita-cita ketika kita kecil dulu sebenarnya tidak terlalu naif. Ini justru menunjukkan sebuah kejujuran yang mendasar, bahwa secara alamiah seseorang hanya ingin bahagia dalam kehidupannya. Bahagianya itu, mungkin dengan menjadi astronot, menjadi dokter, menjadi presiden, atau hanya menjadi ibu rumah tangga (semoga semua orang setuju untuk menghapuskan kata hanya). Dan ya memang betul, melalui jalan yang kini tengah gue tempuh, let say, hari ini gue tengah menjalani hari-hari gue sebagai mahasiswa di jurusan kebidanan, ya melalui jalan inilah gue ingin mencapai kebahagiaan itu. Bukan, cita-cita gue bukan menjadi bidan. Tapi gue ingin bahagia, dan biarlah gue meyakini bahwa jalan ini adalah rute menuju kesana. 

Melalui ketidaksempurnaan yang hari ini gue temui disana-sini, menyadari berbagai kesalahan yang sudah gue bikin dengan sempurna selama 20 tahun ini, akhirnya gue menyadari bahwa menggapai cita-cita tidak semudah mencetuskannya ketika kita kecil dahulu. Pemikiran akan 'bagaimana' yang kadang agak merepotkan, sebenarnya memang di desain untuk dibangun di kepala manusia dewasa agar mereka terus berpikir dan berusaha dengan keras. Untuk gue, meskipun gue nggak pernah bercita-cita terlalu tinggi, hari ini adalah saatnya untuk do hardest untuk masa depan gue. Twenty untill twenty something, adalah usia dimana kematangan seseorang diuji, salah satunya melalui keteguhan dalam mengejar mimpi dan cita-cita untuk masa depan, dan bagaimana ia bertahan memisahkan cita-cita dengan ambisi yang kadang samar.

Jadi sebenernya apa itu masa depan? Mengapa semua orang, termasuk gue begitu sibuk mempersiapkannya  dengan sesempurna mungkin? Everyone has authority to make the sense of that by their own words, tapi dimata gue, masa depan adalah saatnya gue bersyukur atas rangkaian kehidupan yang telah gue lalui, dan saat itu seharusnya cita-cita gue sudah dalam genggaman. Tapi yang terpenting adalah, future is the moment when we realize that everything's happenned in our life is our true life, and it has to be. Kejujuran kita memandang cita-cita ketika kita kecil akan membekas pada saatnya, dan setiap keringat kita yang menetes untuk langkah demi langkah dalam mengartikan kata 'bagaimana' juga akan terkenang begitu indah nanti. Percayalah, we'll get what we really deserve. 

Mungkin keyakinan inilah yang harus dimiliki setiap orang yang tengah menggapai cita-citanya. Kembalilah seperti anak-anak yang begitu jujur dan sederhana dalam memandang cita-cita, masa depan dan kebahagiaan, namun dewasalah untuk mengejar itu  semua yang notabene tidak mudah, dengan bijaksana, maka nanti, di masa depan yang kita kejar itu, kita akan bersyukur dan ikhlas. 



Chef Abdan Syakuura, ST... :)

Saya menemukan bakat baru dari pacar saya, yaitu memasak.

Hal ini mulai terkuak sejak dia berdomisili di Sydney, Australia. Disana karena harga masakan siap saji yang terhitung mahal dan rawan akan pork, akhirnya dia terpaksa memasak untuk memenuhi kebutuhan perutnya, mengingat dirinya harus irit dalam mengalokasikan uang sakunya. Awalnya saya sanksi setengah mati bahwa kebiasaan memasaknya itu akan bertahan lama. Saya pikir, palingan satu dua minggu dia ngga tahan dan beralih dengan beli masakan jadi yang semurah mungkin.

Seminggu berlalu, dia bercerita dengan sangat heboh tentang masakan-masakannya yang dia bilang sih rasanya enak. Walaupun masih berkisar antara olahan telur dan tumisan sederhana saja, tapi saya salut karena dia masih tetap memasak. Dia sempat mengganti status di facebooknya, isinya kurang lebih dia bercerita tentang tangannya yang bau bawang sehabis masak, dan ia menulisnya dengan bangga. Hati saya tergerak, hahaha, akhirnya saya mengirimkan beberapa resep masakan simpel yang mungkin bisa diaplikasikan disana. Ya nggak jauh dari olahan  tumisan, telur, dan daging, yang penting kebutuhan karbo, protein, mineral dan seratnya terpenuhi dengan paduan olahan yang simpel dan mudah. Sejujurnya, saya menunggu minggu depan dia menyerah dan bilang: " Sayang, aku capek masak."

Tapi lagi-lagi saya salah. Hari-hari berikutnya di minggu kedua, ketiga, keempat, bukan cuma sekali dua kali saya mendengar dia bilang : " Sayang, aku masak dulu ya, nanti aku telepon lagi", atau, " Sayang, aku kangen kamu nih..., aku baru selesai masak lho..." Hellooo, kok rajin amat pacar saya masak? Menurut dia, roommate nya memang nggak bisa masak, makanya salah satu hasil pembagian tugas di rent house nya adalah dia memasak. Tapi yang saya heran, kok dia kayak menikmati amat job barunya itu? Bahkan dia lebih sering cerita tentang masakaannya dibanding perkembangan proyek penelitiannya. Noh, saya kan jadi curiga.

Yang paling mencengangkan adalah, kemarin sore saat saya sedang tidur tiba-tiba handphone saya berbunyi, ada sms dari dia, isinya kurang lebih begini: "Yank, kalo bikin perkedel itu kentangnya direbus ya? sampe seberapa mateng?" Dalam nyawa yang masih setengah saya jadi bertanya-tanya, saya pacaran sama chef ya? Tapi sejak kapan saya putus saya pacar saya yang calon engineer itu? Saya jadi tertawa sendiri. Akhirnya saya balas agak panjang agar usahanya membuat perkedel malam itu berhasil.

Malamnya, saat lagi chat, lagi-lagi yang dia bahas adalah masakannya. Katanya, perkedelnya enak, tapi sayang bikinnya ribet. Dia juga sempet cerita bahwa tetangganya seorang French, suka banget sama perkedel bikinannya. Wew, saya mulai merasa tercengang, dan ehm, tersaingi. Secara, saya yang perempuan saja masih belum mahir-mahir amat masak. Ngejokes lah dia, nawarin saya perkedelnya itu, saya bilang saya nggak mau, karena jujur sih saya masih meragukan keenakan perkedelnya. Ah, apapun masakannya pokoknya!

Dulu sebelum dia berangkat, kesamaan keahlian kita yang selalu kita kompetisikan adalah menghabiskan makanan, berebut nasi tambahan di rumah makan padang, dan berebut sop buah Pak Ewok, tapi prediksi saya setelah dia pulang, akan ada kompetisi baru diantara kita: KOMPETISI MEMASAK! Dan sepertinya kemenangan saya terancam, mengingat keahliannya masih akan sangat terasah dalam 4 bulan kedepan. Hmm, ya sudahlah, bukan hal memalukan juga sih kalo nanti saat dia lulus sebagai engineer dia dapet ijazah tambahan sebagai chef.

Chef Abdan Syakuura, ST. Sounds good, right?

malam dan dia.

aku suka malam dengan segala keindahannya
hening yang mencekam erat
dingin yang memeluk rapat
kantuk yang menggoda tak bisa didebat
dan lelah raga yang disangkalpun tak sempat

aku suka malam dengan segala kesunyiannya
sepi dunia tak ada nada
terbungkam mulut tak ada suara
bunyi terbekap diam tak kuasa
dan udara hanya bergesek ragu menyapa

aku suka malam, malam ini tepatnya
kukenang wajahnya 6 jam lalu
kuingat senyumnya sedikit sayu
namun mengingatnya membuatku tak sedikitpun layu
dan cintaku kepadanya penuh tanpa ragu

aku suka malam, terlebih ketika bersama dia
dia dan malam yang menyatu ditengah siluet cahaya lampu jalanan
dia dan malam yang berpadu menjadi angin yang menggebu tak tertahan
aku suka malam, dan sungguh aku cinta dia
Ditulis: Juli 2009, mengenang satu momen bersamamu dulu