Saya menemukan bakat baru dari pacar saya, yaitu memasak.
Hal ini mulai terkuak sejak dia berdomisili di Sydney, Australia. Disana karena harga masakan siap saji yang terhitung mahal dan rawan akan pork, akhirnya dia terpaksa memasak untuk memenuhi kebutuhan perutnya, mengingat dirinya harus irit dalam mengalokasikan uang sakunya. Awalnya saya sanksi setengah mati bahwa kebiasaan memasaknya itu akan bertahan lama. Saya pikir, palingan satu dua minggu dia ngga tahan dan beralih dengan beli masakan jadi yang semurah mungkin.
Seminggu berlalu, dia bercerita dengan sangat heboh tentang masakan-masakannya yang dia bilang sih rasanya enak. Walaupun masih berkisar antara olahan telur dan tumisan sederhana saja, tapi saya salut karena dia masih tetap memasak. Dia sempat mengganti status di facebooknya, isinya kurang lebih dia bercerita tentang tangannya yang bau bawang sehabis masak, dan ia menulisnya dengan bangga. Hati saya tergerak, hahaha, akhirnya saya mengirimkan beberapa resep masakan simpel yang mungkin bisa diaplikasikan disana. Ya nggak jauh dari olahan tumisan, telur, dan daging, yang penting kebutuhan karbo, protein, mineral dan seratnya terpenuhi dengan paduan olahan yang simpel dan mudah. Sejujurnya, saya menunggu minggu depan dia menyerah dan bilang: " Sayang, aku capek masak."
Tapi lagi-lagi saya salah. Hari-hari berikutnya di minggu kedua, ketiga, keempat, bukan cuma sekali dua kali saya mendengar dia bilang : " Sayang, aku masak dulu ya, nanti aku telepon lagi", atau, " Sayang, aku kangen kamu nih..., aku baru selesai masak lho..." Hellooo, kok rajin amat pacar saya masak? Menurut dia, roommate nya memang nggak bisa masak, makanya salah satu hasil pembagian tugas di rent house nya adalah dia memasak. Tapi yang saya heran, kok dia kayak menikmati amat job barunya itu? Bahkan dia lebih sering cerita tentang masakaannya dibanding perkembangan proyek penelitiannya. Noh, saya kan jadi curiga.
Yang paling mencengangkan adalah, kemarin sore saat saya sedang tidur tiba-tiba handphone saya berbunyi, ada sms dari dia, isinya kurang lebih begini: "Yank, kalo bikin perkedel itu kentangnya direbus ya? sampe seberapa mateng?" Dalam nyawa yang masih setengah saya jadi bertanya-tanya, saya pacaran sama chef ya? Tapi sejak kapan saya putus saya pacar saya yang calon engineer itu? Saya jadi tertawa sendiri. Akhirnya saya balas agak panjang agar usahanya membuat perkedel malam itu berhasil.
Malamnya, saat lagi chat, lagi-lagi yang dia bahas adalah masakannya. Katanya, perkedelnya enak, tapi sayang bikinnya ribet. Dia juga sempet cerita bahwa tetangganya seorang French, suka banget sama perkedel bikinannya. Wew, saya mulai merasa tercengang, dan ehm, tersaingi. Secara, saya yang perempuan saja masih belum mahir-mahir amat masak. Ngejokes lah dia, nawarin saya perkedelnya itu, saya bilang saya nggak mau, karena jujur sih saya masih meragukan keenakan perkedelnya. Ah, apapun masakannya pokoknya!
Dulu sebelum dia berangkat, kesamaan keahlian kita yang selalu kita kompetisikan adalah menghabiskan makanan, berebut nasi tambahan di rumah makan padang, dan berebut sop buah Pak Ewok, tapi prediksi saya setelah dia pulang, akan ada kompetisi baru diantara kita: KOMPETISI MEMASAK! Dan sepertinya kemenangan saya terancam, mengingat keahliannya masih akan sangat terasah dalam 4 bulan kedepan. Hmm, ya sudahlah, bukan hal memalukan juga sih kalo nanti saat dia lulus sebagai engineer dia dapet ijazah tambahan sebagai chef.
Chef Abdan Syakuura, ST. Sounds good, right?
No comments:
Post a Comment