Mengapa di usia yang baru saja mau menginjak 20 tahun, saya dan kebanyakan orang disekitar saya entah dalam diam atau dengan cara yang frontal mulai menunjukkan kecenderungan perhatian untuk urusan 'pernikahan'?
I can understand when it sounds weird for another, but this is the truth which is happenning inside my community: kampus kebidanan kemenkes Bogor tercinta. *mari kawan lekaslah mengakui kenyataan ini. Banyak kemudian yang menghubungkan ini dengan kondisi psikologis yang notabene seolah dikarbit untuk lebih cepat mature ketimbang perempuan lain yang seusia, yang berkuliah di lain konsentrasi di kampus yang pasti punya khas pembentukan karakter yang berlainan pula. Pernyataan ini mungkin bisa diterima, kerena personally, I need no lie to say 'ya' about this fact.
Untuk kebutuhan profesi, saya mengakui bahwa pembentukan karekter memang perlu. Untuk menjadi seorang bidan, dibutuhkan kematangan yang lebih untuk mengimbangi klien yang jelas di dominasi oleh ibu-ibu, and that's why we have to be fammilier when we called as 'ibu', padahal usia kami bisa jadi masih belasan. Seorang bidan, tidak peduli berapapun usianya, mau tidak mau, mengaku atau tidak, adalah harus bisa menjadi sahabat untuk setiap ibu dengan karakter yang tidak sama, menjadi problem solver atau setidaknya menjadi pendengar yang baik untuk setiap masalah yang berbeda-beda dari klien yang tidak cuma seorang. Dengan mayoritas masalah: kurang harmonis dengan pasangan, seksualitas, sampai nggak punya uang sekalipun.
Diatas alasan-alasan tersebut, maka pembentukan karakter ini memang dianggap perlu, dan saya rasa ini diterapkan di hampir setiap institusi yang mencetak bidan atau profesi sejenis. Berpikir dan bersikap tidak kekanak-kanakan, tidak tertawa cengengesan, berpakaian selalu rapi dan sopan, hindari jeans, bermental dewasa, memberikan jawaban solutif untuk setiap permasalahan klien, menjadi pribadi yang berwibawa dan ramah, berjalan tidak menunduk apalagi membungkuk, dan sejembreng aturan lainnya. Perkuliahan dengan seragam, mata kuliah yang sangat related dengan being a mature woman, dan model pembentukan lainnya. Tapi yang jadi masalah dan seringkali mencuat ke permukaan adalah justru side effect-nya. Betapa sulitnya ternyata menjadi balance dengan sejuta tuntutan image di usia yang sepertinya kalau melihat keluar 'rumah' kami, mereka seusia kami masih tampak begitu ringan menghadapi keseharian dengan menjadi diri sendiri yang apa adanya, tidak usah menjadi begitu dewasa dan tua. Betapa rumitnya ternyata menjadi lurus ketika dampak dari pematangan psikologis yang berjalan begitu ngebut, pendidikan mengenai sesuatu yang begitu dewasa: pernikahan, menjadi istri, menjadi ibu dan hal-hal angker lainnya, berkejaran dengan pematangan biologis yang juga sedang meletup-letup. It feels not good actually. Seperti menjadi tua sebelum waktunya, menjadi memikirkan yang terlalu jauh sebelum saatnya.
Memikirkan sesuatu yang tidak lain adalah: pernikahan, sebuah gerbang yang terbuka menuju kehidupan yang setiap hari kami pelajari di kelas dengan sangat teliti dan persisi. Ah, shit, jangan kira ini mudah. Racun ingin menikah cepat ini saya rasa mulai menjalar dengan cepat.
Teman satu kost-an saya contohnya, kalau saya tidak salah dengar, hampir lebih dari separuh pembicaraan dengan cowoknya di telepon adalah tentang menikah: setelah wisuda atau mungkin bisa lebih cepat? Setelah menikah tinggal dimana? Bogor, Bandung, atau bahkan Papua, tempat dimana sang pacar berdinas sebagai prajurit berloreng. Ya seputar itu. Atau contoh lain, teman saya yang lain, yang bahkan, minggu-minggu ini sudah mulai merundingkan setelan kebaya dan seragam keluarga untuk wedding party-nya. OH GOD. Tidak, tidak, itu mungkin yang kelas beratnya. Tapi sebetulnya selain dua orang itu, banyak sekali teman yang dalam diam memikirkan untuk segera menikah setelah lulus, hal ini terkorek dengan begitu mudah saat saya hanya iseng menanyakan kapan nikah (pertanyaan yang juga menunjukkan bahwa saya sudah jadi korban), atau dari rona wajah sebagian besar isi kelas yang tiba-tiba memerah saat dosen berintermezo membahas pernikahan, motherhood, being a good wife dan sekawannya ditengah perkuliahan yang tightly related dengan topik intermezzo tersebut, seperti teknik perawatan bayi baru lahir, atau perubahan psikologis ibu hami, ibu melahirkan, kebutuhan psikologis ibu baru melahirkan, atau bahkan kuliah mengenai nutrisi ibu hamil yang kemudian berlanjut begitu panjang mengenai betapa indahnya mempersiapkan sebuah pernikahan, mempersiapkan menjadi seorang istri, menjadi seorang ibu. Dan bukti lainnya adalah, topic pembicaraan favorit dikalangan teman-teman pasti adalah menikah, menjadi istri, menjadi ibu, kerjaan setelah nikah, tipe suami idaman, daaan sebagainya. Dan lagi kalau saya melihat kualitas hubungan dengan pacar-pacar mereka, ternyata jauh berbeda dengan cewek-cewek lain seusianya. Kebanyakan, hampir lebih dari sebagian rasanya sudah berorientasi untuk serius kearah menikah ketimbang hanya just for fun and just for jokes semata.
See? This is our true life day after day. Apakah lantas side effect itu jadi bad effect? Ngga juga, nggak selalu. Bahkan dunia medis sering memanfaatkan efek sedative sebagai side effect justru dari sebuah obat antialergi, dan ini tentu tidak buruk.
Menjadi matang lebih cepat, meski melalui proses karbitan, tentu bukan hal buruk. Tapi sayangnya kematangan ini seringkali hanya imitasi, kematangan kulit yang sebetulnya buahnya masih mentah. Hal ini dikhawatirkan meletupkan kebingungan, memunculkan keinginan yang tidak-tidak namun sebenarnya kedewasaan dan kesiapan belum mencapai maksimum.
Dikhawatirkan, khawatir, mengkhawatirkan, itu semua sebetulnya bukan tentang mereka, bukan teman-teman saya, tapi tentang SAYA. Inbalance dalam diri saya diperparah oleh ambisi saya sejak kecil untuk menikah muda –entah ambisi ini memperparah atau malah menolong. Ya saya harap hal tersebut membuat saya secara pribadi menjadi lebih matang, setidaknya karena ini memang ambisi saya sejak lama, bukan semata-mata produk dari pembentukan karakter.
Namun, keseimbangan itu secara natural ternyata membaik, ketika ternyata pacar saya pun begitu, tidak ingin terlalu lama membuang waktu dengan pacaran, dan hebatnya lagi, ibu saya tak hentinya akhir-akhir ini meminta secara langsung ataupun tersirat agar saya segera memikirkan ke arah sana, dan tidak berlama-lama pacaran. These things makes me feel like, for Godsake, I wanna shake this world’s hand if I could. Saya seperti berdamai dengan dunia. Ia memberikan kesempatan kepada saya, agar secara sadar mengejar ketimpangan antara letupan keinginan saya dengan kesiapan mental yang saya yakin belum baik. Agar saya segera berdamai dengan teknik pebentukan karakter dalam profesi saya yang kadang terasa begitu menghakimi.
Setiap perempuan, saya yakin dituntut menjadi dewasa lebih cepat untuk menghadapi hal-hal unpredictable dalam hidupnya. Mungkin untuk hal tersebut, saya, dan teman-teman lainnya, harus mulai berusaha menerima semua proses ini dengan juga ikut berusaha untuk menyeimbangkan inbalance tadi. Kita tidak pernah tahu, apakah menikah muda atau hal angker lainnya yang mungkin terjadi adalah karena kita yang memikirkan dan merencanakan hal tersebut terlalu cepat atau ini memang hal yang Tuhan takdirkan untuk kita. We never know, and never be allowed to know for sure. This will always be God’s bussines. :D
likee
ReplyDelete