Pukul 11.44 pm.
Gue, beberapa menit yang lalu, terisak nggak bisa berhenti. Rasanya jengkel banget ketika bahkan gue ngga bisa berhentiin airmata yang keluar dari mata gue sendiri, mengaliri pipi gue sendiri, bahkan dampaknya menyumbat hidung gue sendiri. Gue malah dengan pasrah membiarkannya semakin tak terkendali, malah merasai ngilu yang menyesakkan entah di mana persisnya. Iya, beberapa menit yang lalu itu gue menangis.
Menangis kenapa? Gue merasa begitu kompleks, sedih, kesel, kangen, jengkel, gedek juga, tapi juga merasa bersalah... I was not sure enough, bagian mana yang mendominasi, yang gue tau, perpaduannya yang solid membuat gue merasa begitu, eeeerrrgggghhh, nggak kuat pingin nangis. Gue cuma bisa memandangi layar monitor laptop silver gue, sesekali melirik sinis pada lambang on line yang menempel mantap di sebelah nama cowok gue di page skype gue yang juga on line, dan berusaha menerima kenyataan bahwa dia, disana, mungkin juga dihadapan laptopnya, sedang tertidur. Tertidur, tepat 5 menit yang lalu, saat gue bahkan belum sempat say good night dan menatap wajahnya sekali lagi untuk meyakinkan bahwa rasa kangen gue sedikit terobati. Oh ya, tentu, gue juga menggerutu kenapa tadi skype gue sempet bermasalah, memberi jeda beberapa menit untuk gue mencoba memfix-kannya, kemudian mendapati telepon gue tidak lagi dijawab. Ya dia tidur, diagnosa pasti. I don't need any differensial diagnose.
Mulailah, secara natural, gue bermonolog dengan diri gue sendiri.
Good side : Dia capek Na, disana udah jam 2
Bad side : anything! Gue hanya butuh dia pamit, just say "i'm sorry i'm sleepy, may i goe bed fisrst?"
Good side : It's okay. Just calm down...
Yayaya, lalu good side menang. Gue berusaha menerima, karena pada dasarnya gue memang mengerti keadaannya. Ini cuma tentang: gue kangen, belum sempet nutup pembicaraan dengan baik dan manis malam ini, malam yang gue tunggu-tunggu begitu lama, dan gue mendapati dia tidur dengan sangat mudah. Ya tentu saja, udah jam 2 pagi kan disana.
Gue ngerti, gue hanya butuh teman untuk bicara (baca: mencaci maki). Gue membuka friend list on chat di facebook, dan gue melihat sahabat gue disana. Hhhh, inilah bukti pertama bahwa gue harus banyak bersyukur, karena gue tidak pernah merasa benar-benar sendirian, sepanjang hidup gue. Gue lalu menceritakan apa yang lagi terjadi dengan gue. Dia dengan karakternya yang gue kenal dengan baik beberapa kali mencoba memasukkan pikiran-pikiran positif dan gue mengerti, dari awalpun gue mengerti, gue sekali lagi mengatakan ini hanya karena rasa kangen gue yang ngga tertahan, hampir tersampaikan tapi gagal karena cowok gue tertidur. Egh, bete. Setelah beberapa kalimat bijak yang juga agak menjengkelkan ia lontarkan, akhirnya dia menyerah.
Temen gue : Sabar yaa
Gue : Iya.. Hhhh, nanti kalo lu udah punya cewek, jangan biarin dia ngerasain apa yang gue rasain ya...
Temen gue : Hahaha, gue masih belum bisa terbuka sama cewek...
Gue : Iya, nanti juga ada saatnya...
Temen gue : Iya, nanti aja, lagi stress ni gue...
Gue : Stress kenapa? Wah tambah bikin stress dong gue..
Temen gue : Ngga ko.. Bonyok gue...
Gue : Kenapa...?
Temen gue : Divorced...
Deg. Divorced....??? Lalu, sesaat dia bercerita tentang hal mengerikan tersebut.
Gue, sejujurnya, merasa ciut dan malu. Malu banget rasanya beberapa menit lalu dengan begitu emosional gue mengadu ini itu, mengatasnamakan rasa rindu sebagai masalah besar. Okey, sejujurnya itu memang masalah, tapi seharusnya tidak menjadi besar ketika gue mampu meredamnya dengan baik. Gue terdiam sesaat, serasa melihat wajah sahabat gue itu di layar monitor, wajahnya yang tetap apa adanya dan ikhlas meski saat ini mungkin hidupnya tengah tidak baik-baik saja. Rasa miris semakin bertambah ketika ia masih bisa nge-jokes, as a trick to make me laugh.
Inikah pelajaran hidup itu? Hal berharga yang tidak bisa di adaptasi melalui teori diatas kertas dan tidak bisa ditemukan dengan searching via internet.
Bukti kedua, gue tidak pernah dibiarkan merasa begitu bersedih tanpa pelajaran yang kemudian menyusul. This's truely always happen to me all the time. Mungkin ini juga bukti bahwa tidak selalu hal yang menurut gue terlalu buruk adalah benar-benar hal yang begitu buruk. Ini berkaitan pula dengan copying mechanism gue yang gue akui dengan jujur, sejak dulu memang belum baik. Makanya, gue pernah terheran-heran saat ada seorang teman yang bilang bahwa mekanisme koping gue sangat baik, weww, sangat-sangat tidak. Gue berharap pendapatnya itu bukan bukti bahwa gue pandai berbohong (terutama dalam menyembunyikan apa yang sungguh-sungguh sedang gue rasa).
Back to the point. Inilah pelajaran besar yang gue dapat seperti dengan tidak disengaja malam ini. Pelajaran hidup kesekian lewat cara yang misterius yang dapat gue simpulkan seperti ini: Manusia belajar dengan masalah. Masalah adalah seperti soal-soal ujian yang berbeda tingkat kesulitannya di tiap tingkatan. Bagi anak kelas 4 SD, soal matematika kelas 1 tentu seperti tebak-tebakan yang membosankan. Sebaliknya soal UMPTN mungkin tampak sebagai masalah yang amat rumit and couldn't be solved. Jadi, ketika gue tertegun mendengar masalah sahabat gue tadi dan melihat ketenangan yang ia tunjukkan sementara gue dengan emosional menangisi hal yang konyol, gue seperti menyadari bahwa bisa jadi kalau dipetakan saat ini gue masih duduk manis di bangku sekolah dasar dan sahabat gue itu sudah lulus jauh lebih dulu.
Ya, I have to learn more and more because I will never let these matter pass away without any wisdom. Ya karena hidup adalah belajar untuk menjadi lebih bijak dengan mengambil pelajaran di setiap masalah yang menghampiri kita, sekalipun dengan cara yang kadang menjengkelkan.
No comments:
Post a Comment